Kontras Minta Joko Widodo dan Jusuf Kalla Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua
pada tanggal
Sunday 5 October 2014
JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang akan segera dilantik pada 20 Oktober nanti diharapkan untuk memberikan perhatian khusus pada Papua. Sejumlah isu di bumi Cendrawasih itu perlu untuk mendapatkan prioritas penanganan segera.
"Kami harap pemerintahan baru nanti menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan HAM berat di Papua. Seperti kasus Wamena dan Wasior. Memastikan kontrol yang efektif pada TNI, BIN, dan Polri di Papua," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, dalam diskusi, di kantornya, Jumat (3/10).
Dalam diskusi bertema "Masa Depan Papua dalam Pemerintahan Jokowi-JK" itu hadir sejumlah pembicara lain. Misalnya Pendeta Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi) dan Jaleswari Pramodhawardani (mantan anggota Tim Transisi Jokowi-JK).
Dalam catatan Kontras, sudah banyak darah yang menetes di provinsi ujung Timur Indonesia itu. Itu termasuk pemberlakuan operasi militer di Papua yang terus terjadi hingga saat ini. Tanpa ada upaya penghentian dari pemerintah.
"Akibatnya praktik kekerasan di Papua terus berulang. Baik dalam bentuk teror serta pelarangan dan pembubaran aksi damai secara paksa. Juga penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penembakan misterius. Juga konflik antar suku terus meningkat secara drastis," imbuh Haris.
Kontras mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2014 ini saja, setidaknya 66 peristiwa kekerasan terjadi di sana. Di mana, 26 peristiwa dilakukan oleh Polri, enam oleh TNI, dan 21 oleh kelompok tak dikenal.
Pendeta Benny secara realistis mengatakan, bahwa terpilihnya Jokowi-JK tentu tidak serta merta akan memperbaiki kondisi Papua menjadi baik. Itu karena konstelasi konflik yang terjadi di sana adalah peninggalan konflik masa lalu.
"Ada sentimen politik yang melekat dalam pemerintahan bahwa orang Papua identik dengan separatis, pemabuk, dan sebagainya. Sentimen ini harus dihapuskan dulu," sambungnya.
Jaleswari menambahkan, bahwa persoalan di Papua tidak pernah terselesaikan tuntas karena Jakarta selalu meletakan orang Papua sebagai separatis.
“Tapi, di rumah Transisi saat ini, sangat terbuka menerima informasi terkait persoalan Papua. Selalu ada harapan untuk menyelesaikan masalah Papua di masa datang," imbuhnya. [BSC]
"Kami harap pemerintahan baru nanti menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan HAM berat di Papua. Seperti kasus Wamena dan Wasior. Memastikan kontrol yang efektif pada TNI, BIN, dan Polri di Papua," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, dalam diskusi, di kantornya, Jumat (3/10).
Dalam diskusi bertema "Masa Depan Papua dalam Pemerintahan Jokowi-JK" itu hadir sejumlah pembicara lain. Misalnya Pendeta Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi) dan Jaleswari Pramodhawardani (mantan anggota Tim Transisi Jokowi-JK).
Dalam catatan Kontras, sudah banyak darah yang menetes di provinsi ujung Timur Indonesia itu. Itu termasuk pemberlakuan operasi militer di Papua yang terus terjadi hingga saat ini. Tanpa ada upaya penghentian dari pemerintah.
"Akibatnya praktik kekerasan di Papua terus berulang. Baik dalam bentuk teror serta pelarangan dan pembubaran aksi damai secara paksa. Juga penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penembakan misterius. Juga konflik antar suku terus meningkat secara drastis," imbuh Haris.
Kontras mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2014 ini saja, setidaknya 66 peristiwa kekerasan terjadi di sana. Di mana, 26 peristiwa dilakukan oleh Polri, enam oleh TNI, dan 21 oleh kelompok tak dikenal.
Pendeta Benny secara realistis mengatakan, bahwa terpilihnya Jokowi-JK tentu tidak serta merta akan memperbaiki kondisi Papua menjadi baik. Itu karena konstelasi konflik yang terjadi di sana adalah peninggalan konflik masa lalu.
"Ada sentimen politik yang melekat dalam pemerintahan bahwa orang Papua identik dengan separatis, pemabuk, dan sebagainya. Sentimen ini harus dihapuskan dulu," sambungnya.
Jaleswari menambahkan, bahwa persoalan di Papua tidak pernah terselesaikan tuntas karena Jakarta selalu meletakan orang Papua sebagai separatis.
“Tapi, di rumah Transisi saat ini, sangat terbuka menerima informasi terkait persoalan Papua. Selalu ada harapan untuk menyelesaikan masalah Papua di masa datang," imbuhnya. [BSC]