10 Bahasa Ibu Terancam Punah
pada tanggal
Monday, 6 October 2014
KOTA JAYAPURA - Sedikitnya 10 bahasa ibu di Papua terancam punah akibat makin sedikitnya masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Demikian antara lain disampaikan Gubernur Papua, Lukas Enembe, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten III Sekda Papua, Rosdiana Upessy pada pembukaan lokakarya laporan akhir fase studi perencanaan strategis pendidikan dasar di pedesaan dan daerah terpencil di Tanah Papua di Jayapura, Rabu (1/10).
Dikatakan, dari hasil pemetaan yang dilakukan Summer Institute of Linguistic (SIL) International dan Yayasan Abdi Nusantara Papua terungkap di Tanah Papua terdapat 275 bahasa.
Bahasa itu, kata Gubernur Enembe, harus dilestarikan karena jika tidak maka dapat terancam punah.
"Bahkan dari hasil studi yang dilakukan Education Sector Analytical and Capacity Development Patnership (ACDP) terungkap anak-anak di Papua khususnya anak-anak di kelas awal (1,2, dan 3) lebih senang bila guru mengajar dengan menggunakan bahasa ibu karena lebih mudah dimengerti," katanya.
Gubernur Papua pada kesempatan itu juga mengakui, di Papua khususnya hingga kini masih mengalami kekurangan tenaga guru terutama guru di Sekolah Dasar (SD), sementara di satu sisi guru lebih banyak menumpuk di kota.
Padahal tanpa kehadiran guru di kelas, anak-anak tidak akan dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan terampil sehingga pengiriman guru ke pedalaman tidak bisa ditunda lagi.
"Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan perhatian khusus tentang kenaikan pangkat para guru dan perlunya dilakukan sistem mutasi-rotasi guru secara berkala, termasuk mutu layanan gaji dan tunjangan lainnya serta pemenuhan sembilan bahan pokok," kata Lukas Enembe.
Ia juga menambahkan dari data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terungkap dari 11.461 orang guru, baru 1.224 orang yang berkualifikasi sarjana (S1).
Lokakarya yang berlangsung sehari itu menghadirkan guru dan peneliti dari negara donor seperti Martijn van Driel berkebangsaan Belanda yang mengajar SD di Wamena. [ANT]
Demikian antara lain disampaikan Gubernur Papua, Lukas Enembe, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten III Sekda Papua, Rosdiana Upessy pada pembukaan lokakarya laporan akhir fase studi perencanaan strategis pendidikan dasar di pedesaan dan daerah terpencil di Tanah Papua di Jayapura, Rabu (1/10).
Dikatakan, dari hasil pemetaan yang dilakukan Summer Institute of Linguistic (SIL) International dan Yayasan Abdi Nusantara Papua terungkap di Tanah Papua terdapat 275 bahasa.
Bahasa itu, kata Gubernur Enembe, harus dilestarikan karena jika tidak maka dapat terancam punah.
"Bahkan dari hasil studi yang dilakukan Education Sector Analytical and Capacity Development Patnership (ACDP) terungkap anak-anak di Papua khususnya anak-anak di kelas awal (1,2, dan 3) lebih senang bila guru mengajar dengan menggunakan bahasa ibu karena lebih mudah dimengerti," katanya.
Gubernur Papua pada kesempatan itu juga mengakui, di Papua khususnya hingga kini masih mengalami kekurangan tenaga guru terutama guru di Sekolah Dasar (SD), sementara di satu sisi guru lebih banyak menumpuk di kota.
Padahal tanpa kehadiran guru di kelas, anak-anak tidak akan dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan terampil sehingga pengiriman guru ke pedalaman tidak bisa ditunda lagi.
"Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan perhatian khusus tentang kenaikan pangkat para guru dan perlunya dilakukan sistem mutasi-rotasi guru secara berkala, termasuk mutu layanan gaji dan tunjangan lainnya serta pemenuhan sembilan bahan pokok," kata Lukas Enembe.
Ia juga menambahkan dari data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terungkap dari 11.461 orang guru, baru 1.224 orang yang berkualifikasi sarjana (S1).
Lokakarya yang berlangsung sehari itu menghadirkan guru dan peneliti dari negara donor seperti Martijn van Driel berkebangsaan Belanda yang mengajar SD di Wamena. [ANT]