PT Freeport Indonesia Kembali Ekspor Konsentrat Tembaga dan Emas
pada tanggal
Saturday, 23 August 2014
KOTA JAYAPURA - PT Freeport Indonesia akhirnya berhasil kembali mengekspor 50 ribu ton biji tambang konsentrat (HS26) tembaga dan emas ke Spanyol, setelah pada 8 Agustus 2014 silam sudah berhasil melakukan mengekspor produk serupa sebanyak 10 ribu ton ke Tiongkok.
Untuk alasan itulah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto yang didampingi beberapa staf PT Freeport Indonesia, Senin (18/08/2014) siang bertemu Gubernur Papua, Lukas Enembe yang didampingi Sekda Papua, TEA Hery Dosinaen bersama seluruh pimpinan SKPD terkait, di lingkungan Pemprov Papua. Ketua Komisi C DPR Papua, Yan C Ayomi, anggota DPRP Carolus Bolly, Amal Saleh dan Ketua MRP, Timotius Murib.
Dalam pertemuan tertutup selama kurang lebih 1,5 jam itu, Rozik B Soetjipto kepada wartawan menjelaskan, pertemuannya dengan Gubernur Papua adalah untuk melaporkan bahwa, pihaknya sudah mulai ekspor kembali sejak ada penandatanganan MoU dengan pemerintah pusat di Jakarta.
"Ekspor pertama (setelah terhenti sejak Januari 2014) pada 8 Agustus lalu sebanyak 10 ribu ton, dan sekarang sedang loading untuk ekspor ke Spanyol sebanyak 50 ribu ton," kata Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto di Jayapura, Senin (18/08/2014), usai menemui Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Rozik mengaku menemui Gubernur Papua, guna menyampaikan aktivitas ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia yang sudah dimulai lagi, setelah nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah ditandatangani.
"Kami laporkan kepada Beliau (Pak Gubernur-red) bahwa sudah ada ekspor kembali, semenjak ditandatangani MoU dengan pemerintah. Kami lapor isi MoU itu, dan apa yang harus ditindaklanjuti terkait amandemen Kontrak Karya (KK). Jadi, saya menghadap Gubernur untuk mungkin ada saran-saran beliau dan juga untuk bersama-sama menyampaikan hal-hal yang terutama, berkaitan dengan daerah. Itu kami bahas dengan beliau untuk nantinya, bisa menjadi bahan kami. Terutama dalam pembicaraan mengenai amandemen kontrak karya itu,” terangnya panjang lebar.
Freeport dibolehkan ekspor konsentrat setelah menuntaskan renegosiasi kontrak karya (KK), dan memenuhi sejumlah item yang diwajibkan pemerintah.
Freeport menghentikan ekspor hasil tambang sejak Januari 2014, setelah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan bea keluar progresif dengan tarif awal 25 persen.
Aturan tersebut dikeluarkan karena perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua itu, dinilai tidak mematuhi Undang Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan pengolahan hasil tambang di dalam negeri.
Smelter Terkendala
Menjawab pertanyaan wartawan terkait permintaan Pemprov Papua untuk pembangunan smalther di Papua, diakui Rozik memang banyak kendala. Jika smalther itu dibangun di Papua, karena diperlukan adanya industri pendukung yang akan menampung produk yang dapat menimbulkan polusi, seperti CO2 (belerang). Namun Freeport kemudian menunjukkan keseriusannya untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia.
Menurut Rozik, harus ada industri pupuk atau petrokimia. Hal itu diperlukan untuk menyerap. Kalau tidak, hal itu akan menjadi bahan yang mengganggu lingkungan.
Selain itu juga, keperluan adanya industri semen untuk menyerap limbah padat dari smalther. “Ini yang menjadi bahan pembicaraan dengan beliau. Itu yang telah saya sampaikan,” akunya.
Pemerintah kemudian memberikan keringanan tarif bea keluar kepada Freeport, yang telah menunjukkan komitmen pembangunan smelter dengan menyetor uang jaminan 115 juta dolar AS atau sekitar Rp1,32 triliun.
Selain itu, Freeport juga diharuskan membayar bea keluar sesuai tarif baru yakni 7,5 persen pada tahun pertama (setelah pemerintah memberi keringanan nilai), dan pembayaran royalti yang lebih banyak dari sebelumnya.
Saat mengekspor 10 ribu ton konsentrat ke China, Freeport membayar bea keluar Rp19,86 miliar sesuai dengan tarif baru (7,5 persen dari nilai ekspor).
Kini, harus membayar lagi sekitar Rp98 miliar untuk bea keluar 50 ribu ton konsentrat ke Spanyol.
Jika mengacu pada surat persetujuan ekspor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan, maka sampai akhir 2014 Freeport bisa melakukan ekspor 940 ribu ton konsentrat (tembaga dan emas), dari potensi ekspor sebanyak 756.300 ton sesuai analasis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dengan demikian, nilai bea keluar yang harus disetor Freeport sampai akhir 2014 diperkirakan mencapai 1,6 miliar dolar AS - 1,7 miliar dolar AS, atau setara sekitar Rp1,45 triliun.
Dijelaskannya lagi, kewajiban membangun smalther sesuai aturan pemerintah hingga akhir tahun 2016. Namun dengan jarak waktu yang dirasa teramat pendek itu, kalau harus membangun di Papua.
“Infrastrukturnya sekarang harus dibangun, dan waktunya terlalu pendek. Itu yang saya sampaikan ke gubernur,” tuturnya.
Kalau saat ini, PT Freeport mendapat kewajiban untuk membangun smalther dalam waktu pendek. Pilihannya itu terpaksa ditempat yang ada infrastruktur. Oleh karena itu, larinya ke Gersik, Jawa Timur.
“Kalau misalnya Papua menginginkan itu, tentu kita memerlukan waktu yang lebih panjang. Infrastruktur harus dibangun, cari investor untuk pembangunan industri pendukungya. Ini pasti memerlukan waktu yang lebih,” terangnya.
Menanggapi laporan PT Freeport itu, respon dari gubernur sendiri bagaimana, Rozik mengaku tidak tahu. Namun kemungkinan gubernur akan menyampaikannya di tingkat nasional.
“Karena itu kami tidak punya kewenangan, hanya menyampaikan permasalahan. Jadi kami melihatnya dari sisi teknis, ekonomi untuk pembangunan itu. Nah, gubernur mestinya mau memperjuangkan itu. Mesti membicarakan pada tingkat nasional,”sarannya.
Untuk kelanjutan ekspor, saat ini PT Freeport sedang loading untuk pengiriman ke negara Spanyol sebanyak 50 ribu ton. Setelah itu akan ada lagi pengiriman sekitar 20 ribu ton pada pengiriman berikutnya. [SalamPapua]
Untuk alasan itulah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto yang didampingi beberapa staf PT Freeport Indonesia, Senin (18/08/2014) siang bertemu Gubernur Papua, Lukas Enembe yang didampingi Sekda Papua, TEA Hery Dosinaen bersama seluruh pimpinan SKPD terkait, di lingkungan Pemprov Papua. Ketua Komisi C DPR Papua, Yan C Ayomi, anggota DPRP Carolus Bolly, Amal Saleh dan Ketua MRP, Timotius Murib.
Dalam pertemuan tertutup selama kurang lebih 1,5 jam itu, Rozik B Soetjipto kepada wartawan menjelaskan, pertemuannya dengan Gubernur Papua adalah untuk melaporkan bahwa, pihaknya sudah mulai ekspor kembali sejak ada penandatanganan MoU dengan pemerintah pusat di Jakarta.
"Ekspor pertama (setelah terhenti sejak Januari 2014) pada 8 Agustus lalu sebanyak 10 ribu ton, dan sekarang sedang loading untuk ekspor ke Spanyol sebanyak 50 ribu ton," kata Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia, Rozik Boedioro Soetjipto di Jayapura, Senin (18/08/2014), usai menemui Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Rozik mengaku menemui Gubernur Papua, guna menyampaikan aktivitas ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia yang sudah dimulai lagi, setelah nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah ditandatangani.
"Kami laporkan kepada Beliau (Pak Gubernur-red) bahwa sudah ada ekspor kembali, semenjak ditandatangani MoU dengan pemerintah. Kami lapor isi MoU itu, dan apa yang harus ditindaklanjuti terkait amandemen Kontrak Karya (KK). Jadi, saya menghadap Gubernur untuk mungkin ada saran-saran beliau dan juga untuk bersama-sama menyampaikan hal-hal yang terutama, berkaitan dengan daerah. Itu kami bahas dengan beliau untuk nantinya, bisa menjadi bahan kami. Terutama dalam pembicaraan mengenai amandemen kontrak karya itu,” terangnya panjang lebar.
Freeport dibolehkan ekspor konsentrat setelah menuntaskan renegosiasi kontrak karya (KK), dan memenuhi sejumlah item yang diwajibkan pemerintah.
Freeport menghentikan ekspor hasil tambang sejak Januari 2014, setelah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan bea keluar progresif dengan tarif awal 25 persen.
Aturan tersebut dikeluarkan karena perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua itu, dinilai tidak mematuhi Undang Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan pengolahan hasil tambang di dalam negeri.
Smelter Terkendala
Menjawab pertanyaan wartawan terkait permintaan Pemprov Papua untuk pembangunan smalther di Papua, diakui Rozik memang banyak kendala. Jika smalther itu dibangun di Papua, karena diperlukan adanya industri pendukung yang akan menampung produk yang dapat menimbulkan polusi, seperti CO2 (belerang). Namun Freeport kemudian menunjukkan keseriusannya untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia.
Menurut Rozik, harus ada industri pupuk atau petrokimia. Hal itu diperlukan untuk menyerap. Kalau tidak, hal itu akan menjadi bahan yang mengganggu lingkungan.
Selain itu juga, keperluan adanya industri semen untuk menyerap limbah padat dari smalther. “Ini yang menjadi bahan pembicaraan dengan beliau. Itu yang telah saya sampaikan,” akunya.
Pemerintah kemudian memberikan keringanan tarif bea keluar kepada Freeport, yang telah menunjukkan komitmen pembangunan smelter dengan menyetor uang jaminan 115 juta dolar AS atau sekitar Rp1,32 triliun.
Selain itu, Freeport juga diharuskan membayar bea keluar sesuai tarif baru yakni 7,5 persen pada tahun pertama (setelah pemerintah memberi keringanan nilai), dan pembayaran royalti yang lebih banyak dari sebelumnya.
Saat mengekspor 10 ribu ton konsentrat ke China, Freeport membayar bea keluar Rp19,86 miliar sesuai dengan tarif baru (7,5 persen dari nilai ekspor).
Kini, harus membayar lagi sekitar Rp98 miliar untuk bea keluar 50 ribu ton konsentrat ke Spanyol.
Jika mengacu pada surat persetujuan ekspor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan, maka sampai akhir 2014 Freeport bisa melakukan ekspor 940 ribu ton konsentrat (tembaga dan emas), dari potensi ekspor sebanyak 756.300 ton sesuai analasis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dengan demikian, nilai bea keluar yang harus disetor Freeport sampai akhir 2014 diperkirakan mencapai 1,6 miliar dolar AS - 1,7 miliar dolar AS, atau setara sekitar Rp1,45 triliun.
Dijelaskannya lagi, kewajiban membangun smalther sesuai aturan pemerintah hingga akhir tahun 2016. Namun dengan jarak waktu yang dirasa teramat pendek itu, kalau harus membangun di Papua.
“Infrastrukturnya sekarang harus dibangun, dan waktunya terlalu pendek. Itu yang saya sampaikan ke gubernur,” tuturnya.
Kalau saat ini, PT Freeport mendapat kewajiban untuk membangun smalther dalam waktu pendek. Pilihannya itu terpaksa ditempat yang ada infrastruktur. Oleh karena itu, larinya ke Gersik, Jawa Timur.
“Kalau misalnya Papua menginginkan itu, tentu kita memerlukan waktu yang lebih panjang. Infrastruktur harus dibangun, cari investor untuk pembangunan industri pendukungya. Ini pasti memerlukan waktu yang lebih,” terangnya.
Menanggapi laporan PT Freeport itu, respon dari gubernur sendiri bagaimana, Rozik mengaku tidak tahu. Namun kemungkinan gubernur akan menyampaikannya di tingkat nasional.
“Karena itu kami tidak punya kewenangan, hanya menyampaikan permasalahan. Jadi kami melihatnya dari sisi teknis, ekonomi untuk pembangunan itu. Nah, gubernur mestinya mau memperjuangkan itu. Mesti membicarakan pada tingkat nasional,”sarannya.
Untuk kelanjutan ekspor, saat ini PT Freeport sedang loading untuk pengiriman ke negara Spanyol sebanyak 50 ribu ton. Setelah itu akan ada lagi pengiriman sekitar 20 ribu ton pada pengiriman berikutnya. [SalamPapua]