Pemerintah Pusat Harus Bijak Hadapi PT Freeport Indonesia
pada tanggal
Wednesday, 4 June 2014
TIMIKA (MIMIKA) – Mencermati perkembangan dinamika PT Freeport Indonesia yang hingga kini tak kunjung melaksanakan kegiatan eksport hasil tambang mentahnya, pemerintah pusat diminta memahami bahwa pihak PT Freeport Mc Moran yang memiliki sebagian besar saham selaku pihak asing jelas tak akan pernah mau melakukan kompromi politik bisnis ini.
Ketua Papuan Brotherhood, Silas Natkime kepada Salam Papua, Selasa (06/05/2014) menegaskan hal itu sambil berharap, sebaiknya pemerintah pusat bijak menjadi pihak yang memiliki semua kewenangan.
“Mau dipaksa bagaimana pun, PT Freeport ini tak akan pernah mau kompromi dengan segala ketentuan perpajakan yang baru diatur dalam ketentuan Undang-Undang Minerba ini. Semuanya kan sudah jelas dalam kontrak karya dan segala kebijakannya,” tandas Silas Natkime.
Menyusul sudah hampir lima bulan PT Freeport Indonesia belum juga melaksanakan kegiatan eksportnya dan mengakibatkan sejumlah akses perekonomian di Mimika mengalami penurunan, Silas Natkime pun geram dan menegaskan ketidakadilan sikap pemerintah pusat jika terus memaksakan kehendaknya untuk menerapkan pelarangan eksport bahan tambang mineral mentah yang mengakitkan rakyat Mimika lah yang menjadi korban.
“Ini sudah lima bulan PT Freeport tidak melakukan ekspor tambang mineral keluar, dan ini jelas menjadi kekuatiran kami Masyarakat Papua, karena PT FI adalah dapur bagi kami masyarakat Papua. Kami merasa sangat tidak adil jika pemerintah melakukan hal ini terus,” ujarnya saat mengunjungi dapur redaksi Salam Papua.
Menurut Silas, dirinya sudah melakukan negosiasi kepada pemerintah pusat menyangkut pelarang ekspor kepada PT FI ini. Sepertinya pemerintah hanya melihat dengan sebelah mata dan selama ini pihaknya tak kunjung mendapatkan jawaban baik dari pemerintah pusat terkait pelarangan eksport itu.
Atas dasar itu, Silas yang mengakui merepresentasikan perwakilan semua masyarakat Papua yang ada sangat menentang kebijakan ini. “Masyarakat Papua ini juga rakyat dari pemerintah Indonesia yang ada dalam naungan NKRI, jadi pelarangan eksport yang dilakukan pemerintah itu sama saja dengan melakukan penindasan bagi orang Papua,” tegasnya.
“Hasil bumi yang di Papua ini sunguh sangat luar biasa, sehingga sangat dikenal dunia. Tapi coba lihat pembangunan Daerah Mimika ini, masih sangat tertinggal dan hal itu sangat terbalik sekali dengan kenyataan kekayaan sumber daya alam yang dihasilkan oleh Papua ini sendiri,” tuturnya lagi.
Silas beranggapan, jika PT FI dilarang ekspor maka sama halnya, pemerintah ingin perusahaan ini tutup dan jika itu terjadi maka hal terburuk dapat saja terjadi. Masyarakat akan semakin menderita, terutama warga pribumi daerah ini. “Masyarakat asli daerah ini mau lari kemana lagi kalau bukan di tanah sendiri,” kata Silas bernada penuh tanya.
Ditambahkannya, selama ini upaya negosiasi pihaknya sudah disetujui pemerintah pusat, terutama mengenai bea eksport (pajak) yang sudah dikabulkan. Namun saat ini, Silas mengakui kalau masyarakat dan ribuan pekerja Freeport terus mengeluh soal masih terus berlakunya pelarangan ekspor ini.
Jadi, Silas meminta pemerintah kembali melihat ketentuan pelarangan itu dan dirinya juga tegas kalau masih tetap dipaksakan, artinya pemerintah pusat memang jelas ingin menindas kembali rakyatnya yang saat ini sudah ada dialam kemerdekaan.
“Kami sekarang ini sudah sangat bingung akan hal itu dan saya minta pemerintah pusat dapat memberikan waktu bagi PT Freeport untuk melakukan ekspor, karena semua orang dan terutama masyarakat Papua di daerah Mimika khususnya memang sangat bergantung sekali perkembangan perekonomiannya kepada Freeport ini,” pesan Silas. [SalamPapua]
Ketua Papuan Brotherhood, Silas Natkime kepada Salam Papua, Selasa (06/05/2014) menegaskan hal itu sambil berharap, sebaiknya pemerintah pusat bijak menjadi pihak yang memiliki semua kewenangan.
“Mau dipaksa bagaimana pun, PT Freeport ini tak akan pernah mau kompromi dengan segala ketentuan perpajakan yang baru diatur dalam ketentuan Undang-Undang Minerba ini. Semuanya kan sudah jelas dalam kontrak karya dan segala kebijakannya,” tandas Silas Natkime.
Menyusul sudah hampir lima bulan PT Freeport Indonesia belum juga melaksanakan kegiatan eksportnya dan mengakibatkan sejumlah akses perekonomian di Mimika mengalami penurunan, Silas Natkime pun geram dan menegaskan ketidakadilan sikap pemerintah pusat jika terus memaksakan kehendaknya untuk menerapkan pelarangan eksport bahan tambang mineral mentah yang mengakitkan rakyat Mimika lah yang menjadi korban.
“Ini sudah lima bulan PT Freeport tidak melakukan ekspor tambang mineral keluar, dan ini jelas menjadi kekuatiran kami Masyarakat Papua, karena PT FI adalah dapur bagi kami masyarakat Papua. Kami merasa sangat tidak adil jika pemerintah melakukan hal ini terus,” ujarnya saat mengunjungi dapur redaksi Salam Papua.
Menurut Silas, dirinya sudah melakukan negosiasi kepada pemerintah pusat menyangkut pelarang ekspor kepada PT FI ini. Sepertinya pemerintah hanya melihat dengan sebelah mata dan selama ini pihaknya tak kunjung mendapatkan jawaban baik dari pemerintah pusat terkait pelarangan eksport itu.
Atas dasar itu, Silas yang mengakui merepresentasikan perwakilan semua masyarakat Papua yang ada sangat menentang kebijakan ini. “Masyarakat Papua ini juga rakyat dari pemerintah Indonesia yang ada dalam naungan NKRI, jadi pelarangan eksport yang dilakukan pemerintah itu sama saja dengan melakukan penindasan bagi orang Papua,” tegasnya.
“Hasil bumi yang di Papua ini sunguh sangat luar biasa, sehingga sangat dikenal dunia. Tapi coba lihat pembangunan Daerah Mimika ini, masih sangat tertinggal dan hal itu sangat terbalik sekali dengan kenyataan kekayaan sumber daya alam yang dihasilkan oleh Papua ini sendiri,” tuturnya lagi.
Silas beranggapan, jika PT FI dilarang ekspor maka sama halnya, pemerintah ingin perusahaan ini tutup dan jika itu terjadi maka hal terburuk dapat saja terjadi. Masyarakat akan semakin menderita, terutama warga pribumi daerah ini. “Masyarakat asli daerah ini mau lari kemana lagi kalau bukan di tanah sendiri,” kata Silas bernada penuh tanya.
Ditambahkannya, selama ini upaya negosiasi pihaknya sudah disetujui pemerintah pusat, terutama mengenai bea eksport (pajak) yang sudah dikabulkan. Namun saat ini, Silas mengakui kalau masyarakat dan ribuan pekerja Freeport terus mengeluh soal masih terus berlakunya pelarangan ekspor ini.
Jadi, Silas meminta pemerintah kembali melihat ketentuan pelarangan itu dan dirinya juga tegas kalau masih tetap dipaksakan, artinya pemerintah pusat memang jelas ingin menindas kembali rakyatnya yang saat ini sudah ada dialam kemerdekaan.
“Kami sekarang ini sudah sangat bingung akan hal itu dan saya minta pemerintah pusat dapat memberikan waktu bagi PT Freeport untuk melakukan ekspor, karena semua orang dan terutama masyarakat Papua di daerah Mimika khususnya memang sangat bergantung sekali perkembangan perekonomiannya kepada Freeport ini,” pesan Silas. [SalamPapua]