Upaya Lobi Richard Adkerson Terkait Nasib Ekspor PT Freeport, Belum Berhasil
pada tanggal
Friday, 7 February 2014
JAKARTA - Upaya CEO Freeport McMoran Copper & Gold Inc Richard C. Adkerson melobi pejabat Indonesia belum membuahkan hasil. Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, dalam pertemuannya dengan Adkerson Rabu malam lalu (29/01/2014), bos Freeport itu mempertanyakan keputusan pemerintah memberlakukan aturan bea keluar ekspor tambang.
Namun, pemerintah bersikukuh untuk tidak memberikan keringanan bagi perusahaan yang tetap mengekspor hasil tambangnya.
"Saya katakan, aturannya sudah seperti itu," ujarnya kemarin (30/01/2014). Menurut Chatib, dirinya telah menjelaskan latar belakang dan alasan penerapan bea keluar ekspor tambang. Aturan yang mulai berlaku sejak 12 Januari 2014 itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Tujuan utamanya adalah mendorong perusahaan tambang agar membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian)," katanya.
Chatib mengatakan, penerapan aturan tersebut bukan semata untuk mendongkrak penerimaan negara. Namun merupakan bagian dari rencana jangka panjang pemerintah untuk mengakhiri era ketergantungan terhadap sumber daya alam (SDA).
"Indonesia tidak bisa lagi terus menerus bergantung pada sumber daya alam mentah dan buruh murah," ucapnya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah akan memacu program hilirisasi industri pertambangan dengan terus menumbuhkan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara baik dan saling terintegrasi.
"Pemerintah tidak hanya memberi disinsentif melalui bea keluar, tapi juga memberi insentif bagi industri yang berkomitmen mengembangkan hilirisasi," ujarnya.
Chatib mengatakan, pemerintah tidak ingin kesalahan seperti tahun 2009 terulang. Ketika itu, perusahaan-perusahaan tambang berjanji membangun smelter. Namun, setelah lima tahun berlalu, janji-janji itu tidak terealisasi dan perusahaan tetap ingin mengekspor tambang mentah.
"Makanya sekarang ditegasin dengan bea keluar. Jadi mereka harus bangun smelter sekarang," katanya.
Chatib mengakui, meski Adkerson mengaku paham dengan alasan pemerintah Indonesia memberlakukan bea keluar ekspor tambang, orang nomor satu Freeport tersebut belum menyatakan komitmennya untuk membangun smelter ataupun membayar bea keluar. "Jadi, kita lihat nanti perkembangannya," ucapnya.
Freeport Indonesia beroperasi berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pada 1967, berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Masa berlaku kontrak karya pertama adalah 30 tahun. Pada 1991, kontrak karya Freeport diperpanjang selama 30 tahun. Dengan demikian, kontrak karya Freeport akan berakhir di tahun 2021.
Adkerson kemarin juga melobi Menperin M.S Hidayat. "Mereka masih mempersoalkan based on kontrak karya," katanya. Hidayat bersikukuh bahwa pemerintah akan tetap konsisten menerapkan bea keluar secara progresif hingga 2017 untuk ekspor produk mineral tanpa pemurnian.
Dalam pertemuan itu, lanjut Hidayat, Freeport menuntut relaksasi bea keluar progresif. "Tidak bisa seperti itu. Saya persilakan dia datang ke Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan untuk bicara," tukasnya. [JPNN]
Namun, pemerintah bersikukuh untuk tidak memberikan keringanan bagi perusahaan yang tetap mengekspor hasil tambangnya.
"Saya katakan, aturannya sudah seperti itu," ujarnya kemarin (30/01/2014). Menurut Chatib, dirinya telah menjelaskan latar belakang dan alasan penerapan bea keluar ekspor tambang. Aturan yang mulai berlaku sejak 12 Januari 2014 itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Tujuan utamanya adalah mendorong perusahaan tambang agar membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian)," katanya.
Chatib mengatakan, penerapan aturan tersebut bukan semata untuk mendongkrak penerimaan negara. Namun merupakan bagian dari rencana jangka panjang pemerintah untuk mengakhiri era ketergantungan terhadap sumber daya alam (SDA).
"Indonesia tidak bisa lagi terus menerus bergantung pada sumber daya alam mentah dan buruh murah," ucapnya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah akan memacu program hilirisasi industri pertambangan dengan terus menumbuhkan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara baik dan saling terintegrasi.
"Pemerintah tidak hanya memberi disinsentif melalui bea keluar, tapi juga memberi insentif bagi industri yang berkomitmen mengembangkan hilirisasi," ujarnya.
Chatib mengatakan, pemerintah tidak ingin kesalahan seperti tahun 2009 terulang. Ketika itu, perusahaan-perusahaan tambang berjanji membangun smelter. Namun, setelah lima tahun berlalu, janji-janji itu tidak terealisasi dan perusahaan tetap ingin mengekspor tambang mentah.
"Makanya sekarang ditegasin dengan bea keluar. Jadi mereka harus bangun smelter sekarang," katanya.
Chatib mengakui, meski Adkerson mengaku paham dengan alasan pemerintah Indonesia memberlakukan bea keluar ekspor tambang, orang nomor satu Freeport tersebut belum menyatakan komitmennya untuk membangun smelter ataupun membayar bea keluar. "Jadi, kita lihat nanti perkembangannya," ucapnya.
Freeport Indonesia beroperasi berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pada 1967, berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Masa berlaku kontrak karya pertama adalah 30 tahun. Pada 1991, kontrak karya Freeport diperpanjang selama 30 tahun. Dengan demikian, kontrak karya Freeport akan berakhir di tahun 2021.
Adkerson kemarin juga melobi Menperin M.S Hidayat. "Mereka masih mempersoalkan based on kontrak karya," katanya. Hidayat bersikukuh bahwa pemerintah akan tetap konsisten menerapkan bea keluar secara progresif hingga 2017 untuk ekspor produk mineral tanpa pemurnian.
Dalam pertemuan itu, lanjut Hidayat, Freeport menuntut relaksasi bea keluar progresif. "Tidak bisa seperti itu. Saya persilakan dia datang ke Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan untuk bicara," tukasnya. [JPNN]