TNI AD Bubarkan Paksa Ibadah Minggu Jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIdI) Dondobaga
pada tanggal
Thursday, 30 January 2014
DONDOBAGA (PUNCAK JAYA) - Aparat TNI Angkatan Darat membubarkan ibadah di salah satu Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Kabupaten Puncak Jaya, Minggu (26/01/2014). Jemaat Dondobaga dipaksa keluar dari gereja dan mendapat siksaan. Dua orang jemaat ditangkap saat itu juga. Untuk menghindari kekerasan lebih lanjut, rakyat mengungsi dari kampungnya.
“Semuanya dikasih keluar dari gereja, lalu semua jemaat dapa pukul dan disuruh merayap oleh anggota TNI. Dua warga ditangkap,” demikian pesan layanan singkat dari Gabriel Kayame dari Puncak Jaya yang diterima SH, Senin (27/01/2014).
Dua orang jemaat yang ditangkap bernama Tenius Telenggen dan Tigabur Enumbi.
“Kami rakyat Puncak Jaya bertanya di manakah payung kami pemerintah dan DPRD. Saat ini, jemaat Kuliri dan Dondopaga mengungsi ke Karubate. Kami rakyat kecil tidak sanggup hadapi peristiwa yang terjadi di daerah kami. Kami bagaikan ayam kehilangan induk,” kata Gabriel.
Sampai saat ini bupati, wakil bupati, sekretarian daerah, dan semua musyawarah pimpinan daerah tidak ada di tempat.
“Di manakah kalian saat rakyat membutuhkanmu,” ujar Gabriel dalam SMS itu.
Koordinator Jaringan Papua dari National Papua Solidarity (Napas), Samuel Awom, menyatakan saat ini sedang berlangsung pola kekerasan negara melalui aparat TNI dan Polri dengan cara menstigma bahwa masyakat adalah bagian dari konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan TNI.
Menurut dia, situasi darurat militer ini sudah berlaku lama dari zaman Orde Baru. Hingga saat ini, Puncak Jaya merupakan daerah operasi militer yang tertutup untuk pemantuan jurnalis ataupun lembaga swadaya masyarakat. Nyawa menjadi jaminan ketika meliput situasi yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut.
“Peristiwa di Puncak Jaya barusan menegaskan kepada kita bahwa Papua sedang di berlakukan Daerah Operasi Militer sebagai legalitas untuk mengamankan semua aset-aset investasi internasional yang sangat menggiurkan dan menguntungkan modal-modal internasional di Papua,” kata dia kepada SH dari Jayapura.
Kelanjutan Freeport
Ia mengatakan operasi militer ini merupakan kelanjutan dari keberhasilan PT Freeport mendapatkan izin untuk mengekspor tanah dan mineral Papua.
“Perusahaan Amerika itu melakukan operasi pembersihan dengan menggunakan TNI. PT Freeport yang mengatur semua strategi investasi secara monopoli, terutama emas, tembaga dan uranium dari Papua,” kata dia.
PT Freeport, kata dia, mampu membeli rezim Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sehingga kehadiran negara di Papua sudah sangat lemah di hadapan kekuatan PT Freeport.
“Rakyat dibantai untuk mengamankan modal besar,” Samuel menegaskan.
Padahal, rakyat Papua menginginkan situasi yang damai sehingga dapat beraktivitas dengan tenang di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, tanpa kekerasan militer.
“Kalau pembangunan manusia Papua dan infrastruktur karena kepentingan modal dijaga militer, sampai kapan pun rakyat Papua tidak akan merasakan hasil pembangunan itu,” kata dia.
Menurut dia, kalau pemerintah pusat tidak percaya, seharusnya pemerintah pusat mengajak rakyat Papua berdialog dan mengatur bersama masa depan generasi Papua yang lebih baik.
“Dialog itu penting agar Indonesia di mata internasional tetap diakui sebagai negara yang meletakkan HAM dan demokrasi sebagai fondasi pembangunan bangsa dan negara Indonesia,” ujar dia.
Corporate Communications PT Freeport Indonesia di Jakarta tidak dapat dihubungi lewat nomor telepon yang tertera di situs http://ptfi.co.id/id/contact.
Saat ini, para pimpinan Sinode Gereja-gereja Kristen di Papua sedang melakukan pertemuan di Jayapura membahas jalan keluar terhadap gereja-gereja yang menghadapi teror kekerasan. [SinarHarapan]
“Semuanya dikasih keluar dari gereja, lalu semua jemaat dapa pukul dan disuruh merayap oleh anggota TNI. Dua warga ditangkap,” demikian pesan layanan singkat dari Gabriel Kayame dari Puncak Jaya yang diterima SH, Senin (27/01/2014).
Dua orang jemaat yang ditangkap bernama Tenius Telenggen dan Tigabur Enumbi.
“Kami rakyat Puncak Jaya bertanya di manakah payung kami pemerintah dan DPRD. Saat ini, jemaat Kuliri dan Dondopaga mengungsi ke Karubate. Kami rakyat kecil tidak sanggup hadapi peristiwa yang terjadi di daerah kami. Kami bagaikan ayam kehilangan induk,” kata Gabriel.
Sampai saat ini bupati, wakil bupati, sekretarian daerah, dan semua musyawarah pimpinan daerah tidak ada di tempat.
“Di manakah kalian saat rakyat membutuhkanmu,” ujar Gabriel dalam SMS itu.
Koordinator Jaringan Papua dari National Papua Solidarity (Napas), Samuel Awom, menyatakan saat ini sedang berlangsung pola kekerasan negara melalui aparat TNI dan Polri dengan cara menstigma bahwa masyakat adalah bagian dari konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan TNI.
Menurut dia, situasi darurat militer ini sudah berlaku lama dari zaman Orde Baru. Hingga saat ini, Puncak Jaya merupakan daerah operasi militer yang tertutup untuk pemantuan jurnalis ataupun lembaga swadaya masyarakat. Nyawa menjadi jaminan ketika meliput situasi yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut.
“Peristiwa di Puncak Jaya barusan menegaskan kepada kita bahwa Papua sedang di berlakukan Daerah Operasi Militer sebagai legalitas untuk mengamankan semua aset-aset investasi internasional yang sangat menggiurkan dan menguntungkan modal-modal internasional di Papua,” kata dia kepada SH dari Jayapura.
Kelanjutan Freeport
Ia mengatakan operasi militer ini merupakan kelanjutan dari keberhasilan PT Freeport mendapatkan izin untuk mengekspor tanah dan mineral Papua.
“Perusahaan Amerika itu melakukan operasi pembersihan dengan menggunakan TNI. PT Freeport yang mengatur semua strategi investasi secara monopoli, terutama emas, tembaga dan uranium dari Papua,” kata dia.
PT Freeport, kata dia, mampu membeli rezim Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sehingga kehadiran negara di Papua sudah sangat lemah di hadapan kekuatan PT Freeport.
“Rakyat dibantai untuk mengamankan modal besar,” Samuel menegaskan.
Padahal, rakyat Papua menginginkan situasi yang damai sehingga dapat beraktivitas dengan tenang di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, tanpa kekerasan militer.
“Kalau pembangunan manusia Papua dan infrastruktur karena kepentingan modal dijaga militer, sampai kapan pun rakyat Papua tidak akan merasakan hasil pembangunan itu,” kata dia.
Menurut dia, kalau pemerintah pusat tidak percaya, seharusnya pemerintah pusat mengajak rakyat Papua berdialog dan mengatur bersama masa depan generasi Papua yang lebih baik.
“Dialog itu penting agar Indonesia di mata internasional tetap diakui sebagai negara yang meletakkan HAM dan demokrasi sebagai fondasi pembangunan bangsa dan negara Indonesia,” ujar dia.
Corporate Communications PT Freeport Indonesia di Jakarta tidak dapat dihubungi lewat nomor telepon yang tertera di situs http://ptfi.co.id/id/contact.
Saat ini, para pimpinan Sinode Gereja-gereja Kristen di Papua sedang melakukan pertemuan di Jayapura membahas jalan keluar terhadap gereja-gereja yang menghadapi teror kekerasan. [SinarHarapan]