Kasus Abepura Berdarah Tahun 2000 jadi Perhatian pada Hari HAM se-Dunia di Papua
pada tanggal
Tuesday, 10 December 2013
ABEPURA (KOTA JAYAPURA) - Dugaan kasus pelanggaran HAM Abepura, 7 Desember 2000 direncanakan menjadi fokus puncak perhatian pada peringatan Hari HAM Se-Dunia di Papua, pada 19 Desember mendatang.
Demikian disampaikan Anggota Koalisi LSM HAM Matius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Minggu (08/12/2013). Dikatakan, sebagai bagian dari refleksi HAM sepanjang tahun, dimana fokus puncak peringatan Hari HAM Se-Dunia di Papua pada 19 Desember yakni Dialog Interaktif Peringatan Hari HAM Se-Dunia di TVRI Papua, Jayapura selama satu jam mulai 07.30-08.30 WIT, kerjasama Koalisi LSM HAM dengan Komisi A DPRP.
Nara Sumber yang tampil dalam Dialog Interaktif tersebut, masing-masing Ketua DPRP Deer Tabuni, S.E., M.Si., Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Drs. Christian Zebua, M.M., Kapolda Papua Irjen (Pol) M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. , Perwakilan Gereja-Gereja di Tanah Papua, perwakilan korban pelanggaran HAM Abepura 7 Desember 2000 dari Bersatu untuk Kebenaran (BUK) yakni Penias Logbere dan kawan-kawan.
“Kasus pelanggaran HAM Abepura 7 Desember 2000 adalah satu-satu kasus pelanggaran HAM yang sudah dapat respons resmi dari pemerintah melalui Pengadilan HAM,” tegas Matius Murib.
Dijelaskan, BEM Uncen Jayapura bersama aktivis pemuda dan mahasiswa memperingati Hari HAM Se-Dunia menggelar long marc dari Abepura menuju DPRP, Jayapura, 19 Desember mendatang. Sebelumnya, UN Women menggelar Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) di Taman Imbi, Kota Jayapura, Sabtu (07/12/2013).
Pelanggaran HAM BeratSementara itu, KontraS Papua dan BUK menilai tragedi kemanusiaan ‘Abepura Berdarah’ merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
Demikian terungkap dalam konfrensi pers dalam rangka mengenang 13 tahun tragedi Abepura Berdarah (7 Desember 2000 s/d 7 Desember 2013) yang dilakukan Koordinator Umum BUK Peneas Lokbere didampingi Ketua KontraS Papua Olga H. Hamadi, S.H., Sabtu (07/12/2013) siang lalu sekira pukul 11.30 WIT.
“Kami memang setiap tahunnya selalu memperingati tragedi ‘Abepura Berdarah’ setiap tanggal 7 Desember, dan di 2013 ini sudah menginjak ke usia 13 tahun. Dikarenakan banyak korban, baik itu meninggal maupun mengalami kekerasan pada tragedi tersebut,” kata Peneas Lokbere demikian sapaan akrabnya.
Ia mengatakan, kasus - kasus seperti tragedi Abepura Berdarah pada tahun 2000, Wasior Berdarah pada tahun 2001 dan Wamena Berdarah pada tahun 2003 itu dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi berkasnya sudah masuk di Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, namun hingga saat ini belum kejelasan dan terkesan semua kasus tersebut dilupakan oleh negara.
“Kami harap kepada Pemerintah Provinsi Papua segera membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengikat hak - hak korban dan hentikan segala bentuk kekerasan yang ada di Papua, dimana dapat menimbulkan rasa trauma berkepanjangan dan juga korban dapat penyiksaan, pembunuhan serta penangkapan,” harapnya.
Ia menjelaskan, mengenang dari tragedi Abepura Berdarah ini pihaknya telah membuat suatu kegiatan ibadah doa dan juga pergi berziarah ke makam para korban serta pemutaran film di Asrama Nimmim untuk memperingati tragedi kemanusiaan tersebut.
Lebih lanjut lagi, ia mengatakan, dari peristiwa itu sudah mengakibatkan 7 orang, dimana 3 orang telah meninggal terlebih dahulu atau tepatnya pada saat kejadian tersebut.
“Kami sebagai korban merasa tidak mendapatkan keadilan, dikarenakan hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengakui adanya korban dari tragedi kemanusiaan tersebut,” katanya.
Ia mengungkapkan, bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sudah banyak sekali namun hingga saat ini belum juga diproses secara hukum.
“Contohnya, kasus Abepura Berdarah sudah berhasil kami bawa ke Pengadilan HAM di Makassar dan semua prosesnya kami ikuti, akan tetapi banyak ditemukan sandiwara yang dibuat oleh hakim dan jaksa, sehingga kami nilai hasil putusannya tersebut tidak adil buat korban,” tukasnya.
Senada dengan hal itu, Ketua KontraS Papua Olga H. Hamadi, S.H., mengatakan, bahwa untuk penyelesaian kasus Abepura Berdarah ini sama sekali tidak ada perhatian dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
“Sehingga dengan adanya hal tersebut membuat situasi di Papua tidak baik dan kecewa atas proses hukum yang ada, sedangkan untuk jaminan perlindungan keamanan sama sekali tidak diperhatikan oleh negara,” jelasnya sembari mengatakan kalau dilihat dari satu sisi lain bahwa korban tidak mendapat perhatian dari Pemprov Papua.
Olga demikian sapaan akrabnya menjelaskan, bahwa pihaknya bersama sejumlah korban adalah untuk menunjukkan kepada publik bahwasannya kasus itu (Abepura Berdarah) memang ada, sedangkan untuk kasus Wasior Berdarah dan Wamena Berdarah harus segera didorong guna dilakukan penyelidikan.
“Disaat kami berbicara masalah korban selalu ada stigma separatis dan kami pikir stigma tersebut harus dihapus agar tidak menambah rasa sakit hati terhadap korban itu sendiri,” tukasnya.
Ditempat yang sama, salah satu korban kasus Abepura bernama Ekky Gwijangge mengaku sangat kecewa.
“Jadi, saya selaku korban sangat kecewa karena hingga saat ini belum ada kejelasan atau penyelesaian dari kasus tersebut. Dimana pada saat terjadinya peristiwa itu, saya mengalami luka pukul dibagian kepala dan sampai sekarang saya masih sering merasakan rasa sakit,” akunya.
Ekky berharap, aksi kekerasan di Papua harus dihentikan. “Saya sebagai korban berharap agar kekerasan itu dihentikan supaya tidak terjadi lagi seperti yang kami alami pada 7 Desember 2000 lalu,” pungkasnya. [BintangPapua]
Demikian disampaikan Anggota Koalisi LSM HAM Matius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Minggu (08/12/2013). Dikatakan, sebagai bagian dari refleksi HAM sepanjang tahun, dimana fokus puncak peringatan Hari HAM Se-Dunia di Papua pada 19 Desember yakni Dialog Interaktif Peringatan Hari HAM Se-Dunia di TVRI Papua, Jayapura selama satu jam mulai 07.30-08.30 WIT, kerjasama Koalisi LSM HAM dengan Komisi A DPRP.
Nara Sumber yang tampil dalam Dialog Interaktif tersebut, masing-masing Ketua DPRP Deer Tabuni, S.E., M.Si., Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Drs. Christian Zebua, M.M., Kapolda Papua Irjen (Pol) M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. , Perwakilan Gereja-Gereja di Tanah Papua, perwakilan korban pelanggaran HAM Abepura 7 Desember 2000 dari Bersatu untuk Kebenaran (BUK) yakni Penias Logbere dan kawan-kawan.
“Kasus pelanggaran HAM Abepura 7 Desember 2000 adalah satu-satu kasus pelanggaran HAM yang sudah dapat respons resmi dari pemerintah melalui Pengadilan HAM,” tegas Matius Murib.
Dijelaskan, BEM Uncen Jayapura bersama aktivis pemuda dan mahasiswa memperingati Hari HAM Se-Dunia menggelar long marc dari Abepura menuju DPRP, Jayapura, 19 Desember mendatang. Sebelumnya, UN Women menggelar Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) di Taman Imbi, Kota Jayapura, Sabtu (07/12/2013).
Pelanggaran HAM BeratSementara itu, KontraS Papua dan BUK menilai tragedi kemanusiaan ‘Abepura Berdarah’ merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
Demikian terungkap dalam konfrensi pers dalam rangka mengenang 13 tahun tragedi Abepura Berdarah (7 Desember 2000 s/d 7 Desember 2013) yang dilakukan Koordinator Umum BUK Peneas Lokbere didampingi Ketua KontraS Papua Olga H. Hamadi, S.H., Sabtu (07/12/2013) siang lalu sekira pukul 11.30 WIT.
“Kami memang setiap tahunnya selalu memperingati tragedi ‘Abepura Berdarah’ setiap tanggal 7 Desember, dan di 2013 ini sudah menginjak ke usia 13 tahun. Dikarenakan banyak korban, baik itu meninggal maupun mengalami kekerasan pada tragedi tersebut,” kata Peneas Lokbere demikian sapaan akrabnya.
Ia mengatakan, kasus - kasus seperti tragedi Abepura Berdarah pada tahun 2000, Wasior Berdarah pada tahun 2001 dan Wamena Berdarah pada tahun 2003 itu dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi berkasnya sudah masuk di Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, namun hingga saat ini belum kejelasan dan terkesan semua kasus tersebut dilupakan oleh negara.
“Kami harap kepada Pemerintah Provinsi Papua segera membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengikat hak - hak korban dan hentikan segala bentuk kekerasan yang ada di Papua, dimana dapat menimbulkan rasa trauma berkepanjangan dan juga korban dapat penyiksaan, pembunuhan serta penangkapan,” harapnya.
Ia menjelaskan, mengenang dari tragedi Abepura Berdarah ini pihaknya telah membuat suatu kegiatan ibadah doa dan juga pergi berziarah ke makam para korban serta pemutaran film di Asrama Nimmim untuk memperingati tragedi kemanusiaan tersebut.
Lebih lanjut lagi, ia mengatakan, dari peristiwa itu sudah mengakibatkan 7 orang, dimana 3 orang telah meninggal terlebih dahulu atau tepatnya pada saat kejadian tersebut.
“Kami sebagai korban merasa tidak mendapatkan keadilan, dikarenakan hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengakui adanya korban dari tragedi kemanusiaan tersebut,” katanya.
Ia mengungkapkan, bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sudah banyak sekali namun hingga saat ini belum juga diproses secara hukum.
“Contohnya, kasus Abepura Berdarah sudah berhasil kami bawa ke Pengadilan HAM di Makassar dan semua prosesnya kami ikuti, akan tetapi banyak ditemukan sandiwara yang dibuat oleh hakim dan jaksa, sehingga kami nilai hasil putusannya tersebut tidak adil buat korban,” tukasnya.
Senada dengan hal itu, Ketua KontraS Papua Olga H. Hamadi, S.H., mengatakan, bahwa untuk penyelesaian kasus Abepura Berdarah ini sama sekali tidak ada perhatian dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
“Sehingga dengan adanya hal tersebut membuat situasi di Papua tidak baik dan kecewa atas proses hukum yang ada, sedangkan untuk jaminan perlindungan keamanan sama sekali tidak diperhatikan oleh negara,” jelasnya sembari mengatakan kalau dilihat dari satu sisi lain bahwa korban tidak mendapat perhatian dari Pemprov Papua.
Olga demikian sapaan akrabnya menjelaskan, bahwa pihaknya bersama sejumlah korban adalah untuk menunjukkan kepada publik bahwasannya kasus itu (Abepura Berdarah) memang ada, sedangkan untuk kasus Wasior Berdarah dan Wamena Berdarah harus segera didorong guna dilakukan penyelidikan.
“Disaat kami berbicara masalah korban selalu ada stigma separatis dan kami pikir stigma tersebut harus dihapus agar tidak menambah rasa sakit hati terhadap korban itu sendiri,” tukasnya.
Ditempat yang sama, salah satu korban kasus Abepura bernama Ekky Gwijangge mengaku sangat kecewa.
“Jadi, saya selaku korban sangat kecewa karena hingga saat ini belum ada kejelasan atau penyelesaian dari kasus tersebut. Dimana pada saat terjadinya peristiwa itu, saya mengalami luka pukul dibagian kepala dan sampai sekarang saya masih sering merasakan rasa sakit,” akunya.
Ekky berharap, aksi kekerasan di Papua harus dihentikan. “Saya sebagai korban berharap agar kekerasan itu dihentikan supaya tidak terjadi lagi seperti yang kami alami pada 7 Desember 2000 lalu,” pungkasnya. [BintangPapua]