Tradisi Isolasi Perempuaan saat Persalinan Masih Berlaku di Beberapa Wilayah di Papua
pada tanggal
Thursday, 10 October 2013
KOTA JAYAPURA - Tradisi blood taboo atau tindakan isolasi perempuan yang didasari anggapan bahwa darah yang dikeluarkan perempuan pada saat menstruasi atau saat melahirkan (persalinan) adalah darah yang membawa sial masih terjadi di beberapa wilayah Papua.
Fakta tersebut diungkapkan oleh inisiator sekaligus penanggung jawab Balai Kesehatan Terpadu Ibu dan Anak Mimika, dr. Tjondro Indarto kepada indonesiatimur ketika dihubungi melalui ponsel.
Menurutnya walaupun beragam perlakuannya, tradisi blood taboo ini masih terjadi di berbagai tempat di Papua maupun Papua Barat.
“Bentuk perlakuan itu misalnya Ibu Hamil Suku Burate & suku rawa-rawa lainnya di Nabire, bila tiba saatnya untuk melahirkan tiba mereka diisolasi di luar kampungnya dan tidak boleh keluar dari pagar yang telah ditentukan.” katanya menjelaskan.
Secara tegas dokter yang juga pendiri Gerakan Sayang Ibu Papua ini menyatakan bahwa tradisi pengisolasian perempuan hamil itu tidak terjadi hanya di pelosok-pelosok saja, namun juga di kota-kota besar seperti Timika dan kota lainnya di Papua. Tentunya tradisi ini dapat dinilai kurang menghargai ibu dan kesehatannya.
“Aktivitas seperti makan, memasak, kebelakang dan tidur selama kurang-lebih 2-3 minggu menunggu proses persalinan sendirian ditengah hutan belantara atau di pantai, bila Ibu meninggal semuanya menjadi abu. Semua itu hingga masa persalinan tiba dilewati sendiri oleh sang ibu di lokasi isolasi di luar kampung. Masa kita tega?” ujarnya mempertanyakan.
Dia berharap pemerintah lebih proaktif dalam menyikapi fakta-fakta di lapangan untuk mengejar target penurunan Angka Kematian Ibu Hamil (AKI). Pemahaman budaya dan kondisi lapangan sangatlah diperlukan untuk membangun program yang tepat sasaran.
“Jangan standar program di Jawa main diterapkan saja di Papua, pasti tidak jalan! Standar pencapaian seperti AKI harus sama, tapi caranya dan sarannya disesuaikan. Karena Papua ini juga bagian dari Indonesia!” katanya. [IndonesiaTimur]
Fakta tersebut diungkapkan oleh inisiator sekaligus penanggung jawab Balai Kesehatan Terpadu Ibu dan Anak Mimika, dr. Tjondro Indarto kepada indonesiatimur ketika dihubungi melalui ponsel.
Menurutnya walaupun beragam perlakuannya, tradisi blood taboo ini masih terjadi di berbagai tempat di Papua maupun Papua Barat.
“Bentuk perlakuan itu misalnya Ibu Hamil Suku Burate & suku rawa-rawa lainnya di Nabire, bila tiba saatnya untuk melahirkan tiba mereka diisolasi di luar kampungnya dan tidak boleh keluar dari pagar yang telah ditentukan.” katanya menjelaskan.
Secara tegas dokter yang juga pendiri Gerakan Sayang Ibu Papua ini menyatakan bahwa tradisi pengisolasian perempuan hamil itu tidak terjadi hanya di pelosok-pelosok saja, namun juga di kota-kota besar seperti Timika dan kota lainnya di Papua. Tentunya tradisi ini dapat dinilai kurang menghargai ibu dan kesehatannya.
“Aktivitas seperti makan, memasak, kebelakang dan tidur selama kurang-lebih 2-3 minggu menunggu proses persalinan sendirian ditengah hutan belantara atau di pantai, bila Ibu meninggal semuanya menjadi abu. Semua itu hingga masa persalinan tiba dilewati sendiri oleh sang ibu di lokasi isolasi di luar kampung. Masa kita tega?” ujarnya mempertanyakan.
Dia berharap pemerintah lebih proaktif dalam menyikapi fakta-fakta di lapangan untuk mengejar target penurunan Angka Kematian Ibu Hamil (AKI). Pemahaman budaya dan kondisi lapangan sangatlah diperlukan untuk membangun program yang tepat sasaran.
“Jangan standar program di Jawa main diterapkan saja di Papua, pasti tidak jalan! Standar pencapaian seperti AKI harus sama, tapi caranya dan sarannya disesuaikan. Karena Papua ini juga bagian dari Indonesia!” katanya. [IndonesiaTimur]