Human Rights Watch (HRW) Pertanyakan Kekerasan yang Terjadi di Waghete
pada tanggal
Monday, 7 October 2013
JAKARTA - LSM Human Rights Watch meminta pemerintah Indonesia menyelidiki dugaan penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh polisi kepada pengunjuk rasa di Papua pada 23 September 2013 lalu. Selain itu, ada dugaan polisi telah melakukan pelecehan kepada para pengunjuk rasa. Informasi itu berdasarkan keterangan saksi mata di rumah sakit setempat.
Pada operasi pencarian senjata yang berujung dengan konfrontasi, Alpius Mote, seorang pelajar 17 tahun tewas karena letusan senjata api dan tiga lainnya terluka.
“Pemerintah Indonesia harus menjelaskan kenapa polisi merasa perlu untuk melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa yang melempar batu. Kekuatan dengan menggunakan senjata seharusnya digunakan hanya untuk melindungi diri,”kata Phelim Kine, Deputi Direktur Human Rights Watch untuk Asia, dalam keterangan pers yang diterima KBR68H, Senin (30/09/2013).
Sejumlah saksi mata memberitahu Human Rights Watch bahwa dua anggota Brigade Mobil mulai mencari senjata di sebuah pasar di Waghete pada 23 September lalu. Pencarian senjata itu merupakan bagian dari operasi keamanan pasca kerusuhan yang terjadi setelah pelantikan kepala daerah pada 18 Agustus 2013.
Dua personil Brimob itu secara acak memberhentikan pejalan kaki di pasar untuk mencari senjata. Lalu, sekelompok orang berkerumun dan memprotes tindakan brimob tersebut ketika mereka memeriksa pria tua yang menggunakan koteka. Kerumunan massa itu kemudian mulai melempar batu ke arah Brimob. Aksi itu langsung dibalas dua polisi itu dengan melepaskan tembakan ke arah massa yang melempar batu. Tidak jelas apakah tembakan tersebut merupakan bentuk peringatan.
Juru bicara polisi Sulistyo Pudjo Hartono menolak untuk memberi komentar seputar iniden tersebut dengan alasan penyelidikan tengah dilakukan. Tidak lama setelah terjadi tembakan, 35 anggota Brimob lainnya tiba di pasar dan membubarkan kerumunan massa. Berdasarkan keterangan saksi mata, Alpius Mote yang tewas terkena tembakan tidak ikut dalam kerumunan massa yang melempar batu ke arah polisi. Dua korban tembakan lain juga pelajar yaitu Aprida Dogopia dan Alex Mote serta seorang lagi pegawai setempat yaitu Frans Dogopia.
Sejumlah saksi mata juga memberitahu Human Rights Watch bahwa personil Brimob datang ke rumah sakit tidak lama setelah kejadian. Mereka melarang dokter dan perawat mengambil foto korban tembakan tersebut. Polisi juga melarang pengunjung membawa telepon genggam ke dalam rumah sakit. Tindakan yang dilakukan personil Brimob itu seakan ingin membatasi upaya pencarian bukti terkait luka yang dialami korban penembakan.
Ada juga laporan tentang tindakan polisi yang menganiaya dan menahan Yance Pekey, seorang guru di SMA Tigi, tempat Alpius Mote sekolah. Insiden itu diduga terjadi setelah Yance melawan polisi atas tindakan yang dilakukan aparat keamanan itu kepada Alpius. Polisi menuduh Yance sebagai provokator sehingga warga melemparkan batu ke arah polisi.
“Aparat keamanan di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap warga sipil di Papua. Investigasi yang transparan harus dilakukan terhadap kasus penembakan di Waghete untuk mencegah semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada aparat keamanan,”kata Kine. [PortalKBR]
Pada operasi pencarian senjata yang berujung dengan konfrontasi, Alpius Mote, seorang pelajar 17 tahun tewas karena letusan senjata api dan tiga lainnya terluka.
“Pemerintah Indonesia harus menjelaskan kenapa polisi merasa perlu untuk melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa yang melempar batu. Kekuatan dengan menggunakan senjata seharusnya digunakan hanya untuk melindungi diri,”kata Phelim Kine, Deputi Direktur Human Rights Watch untuk Asia, dalam keterangan pers yang diterima KBR68H, Senin (30/09/2013).
Sejumlah saksi mata memberitahu Human Rights Watch bahwa dua anggota Brigade Mobil mulai mencari senjata di sebuah pasar di Waghete pada 23 September lalu. Pencarian senjata itu merupakan bagian dari operasi keamanan pasca kerusuhan yang terjadi setelah pelantikan kepala daerah pada 18 Agustus 2013.
Dua personil Brimob itu secara acak memberhentikan pejalan kaki di pasar untuk mencari senjata. Lalu, sekelompok orang berkerumun dan memprotes tindakan brimob tersebut ketika mereka memeriksa pria tua yang menggunakan koteka. Kerumunan massa itu kemudian mulai melempar batu ke arah Brimob. Aksi itu langsung dibalas dua polisi itu dengan melepaskan tembakan ke arah massa yang melempar batu. Tidak jelas apakah tembakan tersebut merupakan bentuk peringatan.
Juru bicara polisi Sulistyo Pudjo Hartono menolak untuk memberi komentar seputar iniden tersebut dengan alasan penyelidikan tengah dilakukan. Tidak lama setelah terjadi tembakan, 35 anggota Brimob lainnya tiba di pasar dan membubarkan kerumunan massa. Berdasarkan keterangan saksi mata, Alpius Mote yang tewas terkena tembakan tidak ikut dalam kerumunan massa yang melempar batu ke arah polisi. Dua korban tembakan lain juga pelajar yaitu Aprida Dogopia dan Alex Mote serta seorang lagi pegawai setempat yaitu Frans Dogopia.
Sejumlah saksi mata juga memberitahu Human Rights Watch bahwa personil Brimob datang ke rumah sakit tidak lama setelah kejadian. Mereka melarang dokter dan perawat mengambil foto korban tembakan tersebut. Polisi juga melarang pengunjung membawa telepon genggam ke dalam rumah sakit. Tindakan yang dilakukan personil Brimob itu seakan ingin membatasi upaya pencarian bukti terkait luka yang dialami korban penembakan.
Ada juga laporan tentang tindakan polisi yang menganiaya dan menahan Yance Pekey, seorang guru di SMA Tigi, tempat Alpius Mote sekolah. Insiden itu diduga terjadi setelah Yance melawan polisi atas tindakan yang dilakukan aparat keamanan itu kepada Alpius. Polisi menuduh Yance sebagai provokator sehingga warga melemparkan batu ke arah polisi.
“Aparat keamanan di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap warga sipil di Papua. Investigasi yang transparan harus dilakukan terhadap kasus penembakan di Waghete untuk mencegah semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada aparat keamanan,”kata Kine. [PortalKBR]