Greenpeace Papua Pertanyakan Pertanggungjawaban Freeport Indonesia atas Pasir Sisa Tambang
pada tanggal
Monday, 2 September 2013
KOTA JAYAPURA - Koordinator Kampanye Greenpeace untuk Papua, Charles Tawaru mempertanyakan tanggungjawab perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia (Freeport) terhadap tailing atau pasir sisa pertambangan yang dikeluarkan perusahaan pertambangan itu melalui sungai-sungai yang didiami masyarakat adat di Kabupaten Mimika.
“Tailing Freeport sampai ke laut, juga sungai-sungai dan Greenpeace sudah dapat laporan itu. Hal ini berdampak pada masyarakat Kamoro yang hidup dari hutan bakau dan hutan sagu. Harus kita sampaikan ke Freeport, bagaimana pengelolaannya dan juga bagaimana pertanggungjawabannya,” kata Charles dalam Diskusi Interaktif Noken di TVRI Papua, yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Sabtu (31/08/2013).
Menurut Greenpeace, dampak sosial yang harus diperhatikan lebih dalam oleh Freeport dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di Papua. Terkait regulasi, Greenpeace menilai, Undang-undang Otonomi Khusus, terutama pembuatan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang tidak disahkan menyebabkan Papua terus diatur oleh pemerintah pusat. “Inisiatif pemerintah daerah Provinsi Papua maupun legislatif untuk menjawab persoalan-persoalan pertambangan masih lemah,” kata Charles lagi.
Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Fred Boray yang juga salah satu narasumber dalam diskusi itu berpendapat, dalam undang-undang, kontrak karya tidak diatur. “Kalau menurut saya, mendingan Freeport dengan ijinnya dalam kontrak karya dimasukkan ke ijin pertambangan saja agar daerah memiliki kewenangan menangani perusahaan ini,” kata Fred.
Menurut Fred, Papua masih misteri dan susah untuk pihaknya memprediksi sebaran tambang. “Sisi utara dan selatan itu batu bara. Sedangkan untuk wilayah pegunungan itu lebih banyak mineral,” tambahnya.
Marten, salah satu penelepon dari Biak, yang masuk dalam diskusi ini mengatakan, dirinya menilai pemeritah Provinsi Papua takut mengeluarkan Perdasi dan Perdasus terkait tambang. “Padahal sekarang orang Papua membutuhkan transparansi dalam birokrasi pemerintahan. Di Papua saat ini dibutuhkan keterbukaan. Pemerintah provinsi terkesan masih takut menyatakan itu salah ke pemerintah pusat, terkait kebijakan pertambangannya di Papua,” jelasnya. [TablodiJubi]
“Tailing Freeport sampai ke laut, juga sungai-sungai dan Greenpeace sudah dapat laporan itu. Hal ini berdampak pada masyarakat Kamoro yang hidup dari hutan bakau dan hutan sagu. Harus kita sampaikan ke Freeport, bagaimana pengelolaannya dan juga bagaimana pertanggungjawabannya,” kata Charles dalam Diskusi Interaktif Noken di TVRI Papua, yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Sabtu (31/08/2013).
Menurut Greenpeace, dampak sosial yang harus diperhatikan lebih dalam oleh Freeport dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di Papua. Terkait regulasi, Greenpeace menilai, Undang-undang Otonomi Khusus, terutama pembuatan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang tidak disahkan menyebabkan Papua terus diatur oleh pemerintah pusat. “Inisiatif pemerintah daerah Provinsi Papua maupun legislatif untuk menjawab persoalan-persoalan pertambangan masih lemah,” kata Charles lagi.
Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Fred Boray yang juga salah satu narasumber dalam diskusi itu berpendapat, dalam undang-undang, kontrak karya tidak diatur. “Kalau menurut saya, mendingan Freeport dengan ijinnya dalam kontrak karya dimasukkan ke ijin pertambangan saja agar daerah memiliki kewenangan menangani perusahaan ini,” kata Fred.
Menurut Fred, Papua masih misteri dan susah untuk pihaknya memprediksi sebaran tambang. “Sisi utara dan selatan itu batu bara. Sedangkan untuk wilayah pegunungan itu lebih banyak mineral,” tambahnya.
Marten, salah satu penelepon dari Biak, yang masuk dalam diskusi ini mengatakan, dirinya menilai pemeritah Provinsi Papua takut mengeluarkan Perdasi dan Perdasus terkait tambang. “Padahal sekarang orang Papua membutuhkan transparansi dalam birokrasi pemerintahan. Di Papua saat ini dibutuhkan keterbukaan. Pemerintah provinsi terkesan masih takut menyatakan itu salah ke pemerintah pusat, terkait kebijakan pertambangannya di Papua,” jelasnya. [TablodiJubi]