Walau Miliki Potensi Liar Biasa, Sagu Papua Masih Belum Dieksplorasi
pada tanggal
Friday, 2 August 2013
BOGOR (JABAR) - Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerja sama Institut Pertanian Bogor Prof Anas Miftah Fauzi mengemukakan Papua mempunyai potensi sagu yang luar biasa, namun belum banyak dieksplorasi.
"Potensi itu merupakan tantangan bagi para ahli bagaimana memproses sagu menjadi produk yang mudah diolah layaknya memasak nasi," katanya di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Pada penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara IPB dengan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK) Papua di IPB International Convention Center (IICC), ia secara umum potensi sagu Indonesia sangat besar.
"Sayangnya, potensi sagu besar tersebut merupakan warisan dari para orang tua, sehingga terkadang kita belum memahami teknologi pembibitan dan budi daya sagu yang baik untuk menjaga kualitasnya," katanya.
Ia mengemukakan bahwa pada 1997-1999 IPB membangun stasiun pangan darurat di Papua.
Hanya saja, kata dia, sangat disayangkan program tersebut tidak berlanjut.
Karena itu, katanya, dengan MoU tersebut IPB berharap ada kerja sama yang komprehensif supaya terjadi keberlanjutan pengelolaan sagu.
"Bila perlu didirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) khusus sagu yang akan mempelajari segala sesutua ilmu dan teknologi berkaitan industri pengolahannya," katanya.
Terkait dengan itu, menurut Anas Miftah Fauzi, IPB siap membantu karena punya berpengalaman dalam mendirikan SMK-SMK, khususnya bidang pertanian.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif LPMAK Emanuel Kemong dalam kesempatan itu menyatakan hampir keseluruhan masyarakat Papua hidup dari sagu.
"Kecuali hanya beberapa (dari masyarakat) yang makan ubi," katanya.
Ditegaskannya bahwa sagu terancam punah dengan program-program dari pemerintah, seperti pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akan ditanam di atas ribuan hektare pada dusun sagu di Mimika.
Ia mengatakan, yang patut disayangkan justru masyarakat sendiri yang melepaskan tanahnya untuk ditanami kelapa sawit tanpa mempertimbangkan masa depan pangan pokok mereka.
Karena itulah, kata dia, pihaknya kemudian mempertimbangkan kira-kira lembaga apa yang paling tepat untuk mempertahankan sagu guna keberlanjutan masyarakat Papua.
"Saya melihat IPB lembaga yang paling tepat. Kami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sepuluh tahun ke depan tanpa sagu," kata Emanuel Kemong.
Pihaknya berharap dari kerja sama itu, selain pengolahan sagu, juga bagaimana masyarakat bisa menanam kembali sagu.
Ketua Tim Sagu IPB Prof Hasim Bintoro menyatakan, potensi sagu belum optimal dikelola, terlebih masyarakat di Papua hanya membutuhkan dua atau tiga pohon sagu untuk konsumsi satu keluarga satu pohon.
"Masyarakat lebih suka menebang pohon sagu di pinggir jalan. Sementara sekitar 6 juta ton sagu dalam hutan yang tidak dipanen karena sulitnya medan," katanya.
Bila sagu tersebut dimanfaatkan untuk bahan baku gula, etanol, dan sebagainya, tentu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, kata Bintoro.
Kerja sama IPB dengan LPMAK Papua itu dilakukan untuk pengembangan industri sagu di Mimika. [Antara]
"Potensi itu merupakan tantangan bagi para ahli bagaimana memproses sagu menjadi produk yang mudah diolah layaknya memasak nasi," katanya di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Pada penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara IPB dengan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK) Papua di IPB International Convention Center (IICC), ia secara umum potensi sagu Indonesia sangat besar.
"Sayangnya, potensi sagu besar tersebut merupakan warisan dari para orang tua, sehingga terkadang kita belum memahami teknologi pembibitan dan budi daya sagu yang baik untuk menjaga kualitasnya," katanya.
Ia mengemukakan bahwa pada 1997-1999 IPB membangun stasiun pangan darurat di Papua.
Hanya saja, kata dia, sangat disayangkan program tersebut tidak berlanjut.
Karena itu, katanya, dengan MoU tersebut IPB berharap ada kerja sama yang komprehensif supaya terjadi keberlanjutan pengelolaan sagu.
"Bila perlu didirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) khusus sagu yang akan mempelajari segala sesutua ilmu dan teknologi berkaitan industri pengolahannya," katanya.
Terkait dengan itu, menurut Anas Miftah Fauzi, IPB siap membantu karena punya berpengalaman dalam mendirikan SMK-SMK, khususnya bidang pertanian.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif LPMAK Emanuel Kemong dalam kesempatan itu menyatakan hampir keseluruhan masyarakat Papua hidup dari sagu.
"Kecuali hanya beberapa (dari masyarakat) yang makan ubi," katanya.
Ditegaskannya bahwa sagu terancam punah dengan program-program dari pemerintah, seperti pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akan ditanam di atas ribuan hektare pada dusun sagu di Mimika.
Ia mengatakan, yang patut disayangkan justru masyarakat sendiri yang melepaskan tanahnya untuk ditanami kelapa sawit tanpa mempertimbangkan masa depan pangan pokok mereka.
Karena itulah, kata dia, pihaknya kemudian mempertimbangkan kira-kira lembaga apa yang paling tepat untuk mempertahankan sagu guna keberlanjutan masyarakat Papua.
"Saya melihat IPB lembaga yang paling tepat. Kami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sepuluh tahun ke depan tanpa sagu," kata Emanuel Kemong.
Pihaknya berharap dari kerja sama itu, selain pengolahan sagu, juga bagaimana masyarakat bisa menanam kembali sagu.
Ketua Tim Sagu IPB Prof Hasim Bintoro menyatakan, potensi sagu belum optimal dikelola, terlebih masyarakat di Papua hanya membutuhkan dua atau tiga pohon sagu untuk konsumsi satu keluarga satu pohon.
"Masyarakat lebih suka menebang pohon sagu di pinggir jalan. Sementara sekitar 6 juta ton sagu dalam hutan yang tidak dipanen karena sulitnya medan," katanya.
Bila sagu tersebut dimanfaatkan untuk bahan baku gula, etanol, dan sebagainya, tentu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, kata Bintoro.
Kerja sama IPB dengan LPMAK Papua itu dilakukan untuk pengembangan industri sagu di Mimika. [Antara]