Unjuk Rasa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Fakfak Diwarnai Adu Mulut
pada tanggal
Friday, 2 August 2013
FAKFAK - Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Fakfak menggelar aksi tutup mulut di area parkir Tambaruni Fakfak sekitar pukul 09.30 waktu Papua, Kamis (25/07/2013). Dalam aksi ini sempat diwarnai adu mulut dengan aparat kepolisian setempat.
Pantauan majalahselangkah.com di lapangan aksi massa yang berjumlah puluhan orang membentangkan spanduk bertuliskan "Segera Buka Ruang Demokrasi Bagi Papua" serta beberapa poster terkait pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Papua.
Beberapa orasi dari kordinator lapangan maupun dari peserta aksi terus disuarakan di bawah terik matahari sebagai sahabat mereka. Mereka terus menyuarakan suara-suara yang dibungkam dengan berbagai cara selama ini. Aksi ini berjalan dibawah kawalan aparat kepolsian bersenjata lengkap.
Situasi sempat memanas ketika aparat kepolisian memaksa aksi massa untuk tangalkan pakaian bermotif Papua merdeka atau lambang Negara Papua dari baju yang dikenakan oleh kordinator lapangan serta kordinator umum dalam aksi tersebut. Ia juga mengancam akan menghentikan aksi secara paksa jika baju yang dikenakan tidak dilepas.
"Dalam situasi orasi sedang berlangsung salahsatu aparat kepolisian mendekati koordinator lapangan, Kwartus Ndrotndrot untuk meminta segera melepas baju yang dikenakan. Pada aksi ini antara kordinator umum dan kordinator lapangan memakai kaos hitam bergambar Lambang Negara Papua dibagian belakang dan depan tulisan West Papua," kata Gabriel Hegemur, korinator umum.
Kata dia, aparat beralasan karena pada surat pemberitahuan dan manajemen aksi tidak dicantumkan tentang memakai baju dengan gambar bintang kejora. Aparat tersebut meminta baju yang dipakai harus dilepas jika tidak aksi akan dihentikan.
"Sempat saya menyampaikan kepada pak polisi bahwa itu hanya baju, tetapi aparat tetap berkeras bahwa itu baju dengan bendera Papua, sehingga harus pilih aksi lanjut bila baju dibuka atau aksi dihentikan karena tetap mengenakan baju tersebut, dalam hal ini saya lebih memilih aksi yang dihentikan dari pada harus melepas baju dengan motif simbol dan lambang Negara Papua Barat," urai Gabriel.
Setelah terjadi tawar-menawar bersama aparat kepolisian dan massa aksi, kordinator umum lebih memilih membubarkan aksi tanpa harus melepaskan pakaian dengan lambang negara Papua Barat. Mereka membubarkan diri dengan tertip usai membacakan pernyataan sikap. [MajalahSelangkah]
Pantauan majalahselangkah.com di lapangan aksi massa yang berjumlah puluhan orang membentangkan spanduk bertuliskan "Segera Buka Ruang Demokrasi Bagi Papua" serta beberapa poster terkait pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Papua.
Beberapa orasi dari kordinator lapangan maupun dari peserta aksi terus disuarakan di bawah terik matahari sebagai sahabat mereka. Mereka terus menyuarakan suara-suara yang dibungkam dengan berbagai cara selama ini. Aksi ini berjalan dibawah kawalan aparat kepolsian bersenjata lengkap.
Situasi sempat memanas ketika aparat kepolisian memaksa aksi massa untuk tangalkan pakaian bermotif Papua merdeka atau lambang Negara Papua dari baju yang dikenakan oleh kordinator lapangan serta kordinator umum dalam aksi tersebut. Ia juga mengancam akan menghentikan aksi secara paksa jika baju yang dikenakan tidak dilepas.
"Dalam situasi orasi sedang berlangsung salahsatu aparat kepolisian mendekati koordinator lapangan, Kwartus Ndrotndrot untuk meminta segera melepas baju yang dikenakan. Pada aksi ini antara kordinator umum dan kordinator lapangan memakai kaos hitam bergambar Lambang Negara Papua dibagian belakang dan depan tulisan West Papua," kata Gabriel Hegemur, korinator umum.
Kata dia, aparat beralasan karena pada surat pemberitahuan dan manajemen aksi tidak dicantumkan tentang memakai baju dengan gambar bintang kejora. Aparat tersebut meminta baju yang dipakai harus dilepas jika tidak aksi akan dihentikan.
"Sempat saya menyampaikan kepada pak polisi bahwa itu hanya baju, tetapi aparat tetap berkeras bahwa itu baju dengan bendera Papua, sehingga harus pilih aksi lanjut bila baju dibuka atau aksi dihentikan karena tetap mengenakan baju tersebut, dalam hal ini saya lebih memilih aksi yang dihentikan dari pada harus melepas baju dengan motif simbol dan lambang Negara Papua Barat," urai Gabriel.
Setelah terjadi tawar-menawar bersama aparat kepolisian dan massa aksi, kordinator umum lebih memilih membubarkan aksi tanpa harus melepaskan pakaian dengan lambang negara Papua Barat. Mereka membubarkan diri dengan tertip usai membacakan pernyataan sikap. [MajalahSelangkah]