Kaimana dan Fakfak, Pusat Penyebaran Islam di Papua
pada tanggal
Thursday, 8 August 2013
Kendati demikian, belum banyak diketahui, di daerah pesisir selatan Papua, tepatnya di Kampung Sran, Kaimana, Papua Barat, pernah berdiri sebuah kerajaan yang kemudian menjadi pusat penyebaran Islam di Papua.
Umar Sabuku, Mangkubumi Kaimana, yang ditemui Kompas.com, mengungkapkan, Kerajaan Sran Eman Muun diperkirakan berdiri sekitar awal abad ke-12. Sejak berdiri, kerajaan ini sudah tiga kali berpindah pusat pemerintahan dari Weri/Tunas Gain di wilayah Kabupaten Fak-Fak, kemudian berpindah ke Borombouw di Pulau Adi perairan laut Arafuru wilayah Kabupaten Kaimana.
Pada periode tahun 1498 hingga 1808, terjadi Perang Hongi dan perpecahan dalam keluarga kerajaan sehingga Nduvin, Raja Sran Kaimana IV pada tahun 1808, kemudian memindahkan ibu kota ke daerah yang sekarang menjadi Kampung Sran, Kaimana.
"Kerajaan Sran Eman Muun inilah yang kemudian terpecah menjadi sejumlah kerajaan kecil di Kaimana hingga Fak-Fak, misalnya, melalui perkawinan keluarga kerajaan seperti pada Kerajaan Namatota di Pulau Namatota Kaimana," katanya.
Kaimana pusat penyebaran Islam di Papua
Menurut Umar Sabuku, yang juga imam Masjid Nurul Falah, Kampung Bumi Surmai (Bumsur), Distrik Kaimana, masuknya Islam pertama kali dibawa oleh Imam Dzikir di Borombouw pada tahun 1405.
"Penyebaran agama Islam masuk melalui interaksi perdagangan dengan pedagang dari luar Papua seperti dari Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Imam Dzikir kemudian menetap di Pulau Adi dan mengajarkan Islam yang kemudian diterima oleh keluarga kerajaan," urainya.
Pada tahun 1898, perkembangan Islam semakin membesar ketika Naro’E, menggantikan Nduvin, ayahnya menjadi Raja Sran Kaimana V. Pada saat itu, Naro’E menikah dengan anak kepala suku di Kaimana.
Menurut Umar, strategi ini untuk memperbesar kerajaan sekaligus untuk bertahan dari pengaruh Belanda yang sudah mulai masuk ke wilayah Papua.
Dijelaskan Umar, perkembangan Islam di Kaimana banyak dipengaruhi oleh budaya Islam Sumatera, khususnya Aceh dan Maluku (Ternate hingga Tidore di Maluku Tengah). Alasannya karena seni budaya Islam yang berkembang di Kaimana lebih banyak menggunakan rebana dan tifa.
"Selain itu, peninggalan Islam yang terbesar di daratan Papua adalah bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sehingga bahasa ini menjadi bahasa pemersatu bahasa berbagai suku di Papua," jelas Umar.
Hal senada juga diungkapkan Muridan Widjojo, peneliti LIPI yang pernah meneliti perkembangan Islam di Maluku dan Papua. Menurutnya, Islam di Kaimana sudah ada sejak abad XVI-XVII, efek samping dari kegiatan perdagangan, khususnya rempah-rempah di daerah ini.
Meski Islam sudah ada sejak abad XVI, menurut Muridan, tidak ada perkembangan berarti hingga akhir parus pertama abad XX. Kerajaan yang ada di Kaimana dan Fak-Fak bersifat longgar dan rajanya mendapat legitimasi dari kerajaan yang lebih besar di daerah tersebut, yakni Kesultanan Tidore.
"Pada dasarnya yang disebut raja itu adalah makelar atau perantara sekaligus pedagang (penjual dan pengumpul). Mereka mendapat gelar raja dari Kesultanan Tidore, namun dengan imbal upeti," ungkap Muridan. [Kompas]