Eliezer Yan Bonay, Gubernur Papua Pertama yang Nasionalis
pada tanggal
Wednesday, 14 August 2013
ANGKASAPURA (KOTA JAYAPURA) - Eliezer Yan Bonay, Gubernur Pertama Irian Barat (1 Mei 1963-1964 Akhir), yang wafat ketika menjadi delegasi Indonesia di Negeri Belanda pada 13 Maret 1990 silam.Seorang tokoh nasional. Ia menganut paham nasionalisme sejati. Ia merangkul semua suku, semua elemen tanpa pandang bulu. Ia melihat Papua itu satu dan utuh didalam NKRI.
Demikian disampaikan Ny. Heemskercke Bonay, S.E., Putri Eliezer Yan Bonay ketika dimintai kesaksiannya terkait perjuangan ayahandanya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963, dikediamannya Jalan Lembah No.12, Angkasa Indah III, Angkasapura, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Minggu (11/08/2013).
Ny. Heemskercke mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air terutama berdomisili di Papua untuk bersama membangun Papua agar menuju Papua yang sejahtera, damai, abadi sesuai dengan cita – cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.
“Kita mempunyai tanggungjawab moral sebagaimana ditunjukan Eliezer Yan Bonay, seorang tokoh pejuang yang dijuluki Gubernur integrasi bangsa yang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963,” ujar Ny. Heemskercke.
Karena itu, ujar Ny. Heemskercke, pihaknya menghimbau kepada pihak tertentu supaya jangan terus-menerus protes. Tapi sebagai umat yang percaya, marilah semua berdoa pasti secara alamia Tuhan akan memberikan jalan terbaik, bila memang kita sungguh-sungguh.
“Tapi yang kita mau lihat adalah kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan bagi kesejahteraan rakyat di Tanah Papua ini,” ujar Ny. Heemskercke.
Ny. Heemskercke mengkisahkan kembali kesaksian ayahandanya Eliezer Yan Bonay pada tanggal 23 Mei 1979 di kediaman sangat sederhana pada waktu santai malam hari. Ia ingin memperjuangkan satu cita-cita yang agung, yang besar, menggunakan akal dan hati nurani, maka akan tercapai yang diperjuangkan dengan aman, tanpa gesekan-gesekan yang membawa penderitaan bagi siapapun.
Menurut Ny. Heemskercke, ayahandanya Eliezer Yan Bonay menyampaikan pesan kepada generasi mudah untuk selalu giat belajar, kuasai ilmu yang diminati, praktekan ilmu dalam kerja nyata. Apa yang ditujuh pasti dicapai atas karunia Allah, karena keinginan kita. Ingat selalu semua yang ada didunia ini diciptakan Allah untuk kebahagiaan.
“Karena semua yang terjadi dalam kehidupan cinta kasih, saling mengasihi, bukan milik mutlak seseorang untuk kesenangannya sendiri. Semua harus dapat bagian walaupun porsinya tak sama. Kalau dapat lebih, ingat yang dapatnya kurang dalam segala segi kehidupan,” ujar Ny. Heemskercke.
Ny. Heemskercke menuturkan, ayahandanya juga menyampaikan kepada para pemuda agar jangan terbawa emosi kalau mau aman. Tapi pergunakan akal cemerlang atas dasar ilmu dan hati nurani yang bijaksana atas dasar hasil perjuangan untuk kesejahteraan, ketenteraman semua orang-orang bukan untuk kemenangan atas kesenangan sendiri saja, biar orang lain menderita. Jangan berontak –rontak ingin kuasai sesuatu tanpa dasar ilmu yang dimiliki untuk melanjutkan kekuasaan atas apa yang ingin dikuasainya. Tanah ini kaya namun tanpa ilmu untuk menggalinya, untuk dimilikinya, untuk mengelola dan menikmatinya, biar orang lain yang sudah berilmu mengelolahnya sekarang.
“Selangkah demi selangkah dengan ilmu yang kita miliki, kekuasaan atas kekayaan itu akan dikaruniakan kepada kita dengan jalan alamiah yang tanpa sikut sana sikut sini,” tandas Ny. Heemskercke.
Dikatakan Ny. Heemskercke, ayahandanya Eliezer Yan Bonay sejak pemuda memilih bergabung bersama Partai Nasional (PARNA). Selangkah demi selangkah sampai naik ke jenjang politik, menjadi anggota Volksraad, DPR-nya pada waktu itu untuk memperjuangkan suatu cita-cita.
Waktu itu masih sedikit tokoh-tokoh yang paham politik, namun yang sedikit itu ternyata kuat daya pemikirannya dan memiliki nurani kebijaksanaannya. Di sela-sela waktu perundingannya Irian Barat ketika berhasil membebaskan diri dari genggaman penjajah yang menyangkah dapat mempertahankan daerah Timur, dipisahkan dari daerah Barat.
Disela-sela waktu perundingan dengan Pemerintah Belanda, ayahandanya diculik dan dipertemukan dengan mendiang Jenderal Panjaitan di Born, Jerman Barat yang menyampaikan pesan-pesan dari Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang terpisah lautan, padahal masih nerupakan satu kesatuan negara, gigih sekali Belanda mempertahankan tanah kaya raya ini melalui perundingan – perundingan di PBB, Linggarjati dan Renville.
Setelah lepas ada kelompok yang salah paham, yang ingin berdiri sendiri, dan memisahkan diri dari kesatuan yang belum memahami tujuan kemerdekaan itu. Namun bapak sampaikan beri pengertian kepada mereka makna NKRI itu. Maka dibuatkanlah Musyawarah Irian Barat pertama tahun 1964 waktu permulaannya ada yang terkena isu Belanda untuk mengadakan Plebisit (Pemungutan Suara). Muncul pro kontra padahal Musyawarah itu diadakan untuk pernyataan penentuan nasib sendiri (self determination), kebulatan tekat bersatu tetap menjadi bagian dari NKRI.
Pada waktu itu timbul kelompok yang akan mengibarkan bendera yang direkayasa seakan-akan bendera negara Papua merdeka, padahal setelah diamati blau garis lintang yang kalau disusun-susun baik nampak bendera Belandanya. Tak berhasil mereka mengibarkan itu, artinya ayahanda dan rekannya tak dapat dibujuk untuk hadir pada pengibaran bendera itu. Ayahandanya tetap pada pendiriannya bergabung dengan NKRI, dalam arti berpemerintahan satu, NKRI, sebagai negara merdeka dan berdaulat, yang dulunya jajahan Belanda. [BintangPapua]
Demikian disampaikan Ny. Heemskercke Bonay, S.E., Putri Eliezer Yan Bonay ketika dimintai kesaksiannya terkait perjuangan ayahandanya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963, dikediamannya Jalan Lembah No.12, Angkasa Indah III, Angkasapura, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Minggu (11/08/2013).
Ny. Heemskercke mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air terutama berdomisili di Papua untuk bersama membangun Papua agar menuju Papua yang sejahtera, damai, abadi sesuai dengan cita – cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.
“Kita mempunyai tanggungjawab moral sebagaimana ditunjukan Eliezer Yan Bonay, seorang tokoh pejuang yang dijuluki Gubernur integrasi bangsa yang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963,” ujar Ny. Heemskercke.
Karena itu, ujar Ny. Heemskercke, pihaknya menghimbau kepada pihak tertentu supaya jangan terus-menerus protes. Tapi sebagai umat yang percaya, marilah semua berdoa pasti secara alamia Tuhan akan memberikan jalan terbaik, bila memang kita sungguh-sungguh.
“Tapi yang kita mau lihat adalah kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan bagi kesejahteraan rakyat di Tanah Papua ini,” ujar Ny. Heemskercke.
Ny. Heemskercke mengkisahkan kembali kesaksian ayahandanya Eliezer Yan Bonay pada tanggal 23 Mei 1979 di kediaman sangat sederhana pada waktu santai malam hari. Ia ingin memperjuangkan satu cita-cita yang agung, yang besar, menggunakan akal dan hati nurani, maka akan tercapai yang diperjuangkan dengan aman, tanpa gesekan-gesekan yang membawa penderitaan bagi siapapun.
Menurut Ny. Heemskercke, ayahandanya Eliezer Yan Bonay menyampaikan pesan kepada generasi mudah untuk selalu giat belajar, kuasai ilmu yang diminati, praktekan ilmu dalam kerja nyata. Apa yang ditujuh pasti dicapai atas karunia Allah, karena keinginan kita. Ingat selalu semua yang ada didunia ini diciptakan Allah untuk kebahagiaan.
“Karena semua yang terjadi dalam kehidupan cinta kasih, saling mengasihi, bukan milik mutlak seseorang untuk kesenangannya sendiri. Semua harus dapat bagian walaupun porsinya tak sama. Kalau dapat lebih, ingat yang dapatnya kurang dalam segala segi kehidupan,” ujar Ny. Heemskercke.
Ny. Heemskercke menuturkan, ayahandanya juga menyampaikan kepada para pemuda agar jangan terbawa emosi kalau mau aman. Tapi pergunakan akal cemerlang atas dasar ilmu dan hati nurani yang bijaksana atas dasar hasil perjuangan untuk kesejahteraan, ketenteraman semua orang-orang bukan untuk kemenangan atas kesenangan sendiri saja, biar orang lain menderita. Jangan berontak –rontak ingin kuasai sesuatu tanpa dasar ilmu yang dimiliki untuk melanjutkan kekuasaan atas apa yang ingin dikuasainya. Tanah ini kaya namun tanpa ilmu untuk menggalinya, untuk dimilikinya, untuk mengelola dan menikmatinya, biar orang lain yang sudah berilmu mengelolahnya sekarang.
“Selangkah demi selangkah dengan ilmu yang kita miliki, kekuasaan atas kekayaan itu akan dikaruniakan kepada kita dengan jalan alamiah yang tanpa sikut sana sikut sini,” tandas Ny. Heemskercke.
Dikatakan Ny. Heemskercke, ayahandanya Eliezer Yan Bonay sejak pemuda memilih bergabung bersama Partai Nasional (PARNA). Selangkah demi selangkah sampai naik ke jenjang politik, menjadi anggota Volksraad, DPR-nya pada waktu itu untuk memperjuangkan suatu cita-cita.
Waktu itu masih sedikit tokoh-tokoh yang paham politik, namun yang sedikit itu ternyata kuat daya pemikirannya dan memiliki nurani kebijaksanaannya. Di sela-sela waktu perundingannya Irian Barat ketika berhasil membebaskan diri dari genggaman penjajah yang menyangkah dapat mempertahankan daerah Timur, dipisahkan dari daerah Barat.
Disela-sela waktu perundingan dengan Pemerintah Belanda, ayahandanya diculik dan dipertemukan dengan mendiang Jenderal Panjaitan di Born, Jerman Barat yang menyampaikan pesan-pesan dari Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang terpisah lautan, padahal masih nerupakan satu kesatuan negara, gigih sekali Belanda mempertahankan tanah kaya raya ini melalui perundingan – perundingan di PBB, Linggarjati dan Renville.
Setelah lepas ada kelompok yang salah paham, yang ingin berdiri sendiri, dan memisahkan diri dari kesatuan yang belum memahami tujuan kemerdekaan itu. Namun bapak sampaikan beri pengertian kepada mereka makna NKRI itu. Maka dibuatkanlah Musyawarah Irian Barat pertama tahun 1964 waktu permulaannya ada yang terkena isu Belanda untuk mengadakan Plebisit (Pemungutan Suara). Muncul pro kontra padahal Musyawarah itu diadakan untuk pernyataan penentuan nasib sendiri (self determination), kebulatan tekat bersatu tetap menjadi bagian dari NKRI.
Pada waktu itu timbul kelompok yang akan mengibarkan bendera yang direkayasa seakan-akan bendera negara Papua merdeka, padahal setelah diamati blau garis lintang yang kalau disusun-susun baik nampak bendera Belandanya. Tak berhasil mereka mengibarkan itu, artinya ayahanda dan rekannya tak dapat dibujuk untuk hadir pada pengibaran bendera itu. Ayahandanya tetap pada pendiriannya bergabung dengan NKRI, dalam arti berpemerintahan satu, NKRI, sebagai negara merdeka dan berdaulat, yang dulunya jajahan Belanda. [BintangPapua]