Biji Bitanggor Disulap jadi Kalung Pinang
pada tanggal
Monday, 26 August 2013
KOTA JAYAPURA - Biji bitanggor yang bertebaran di sepanjang bibir pantai baik di Jayapura khususnya dan Papua umumnya, hanya dipandang sebelah mata oleh orang banyak. Mereka menilai tak ada nilai ekonomis dibalik buah tersebut.
Namun berbeda dengan penilaian Beny Rumbiak. Lelaki usia 50 tahun itu, salah satu dari sekian orang yang melirik biji bitanggor. Ia memanfaatkan bitanggor menjadi benda ekonomis. Siang itu, Minggu, 25 Agustus 2013, Lelaki beranak tiga itu sedang mengais pasir mencari biji bitanggor yang terkubur di pasir. Alhasil, hampir satu kantong plastik berisi bitanggor. “Setelah ini saya keruk isinya didalam, lalu cuci dan keringkan. Sesudah itu di amplas, lalu saya rekayasa penutupnya dengan penutup odol gigi. Pekerjaan terakhir adalah diberi warna seperti pinang,” ungkap Beny ke tabloidjubi.com di Pantai Base G Jayapura, Minggu.
Dia merubahnya menjadi kalung pinang. Terlihat sepintas seperti kalung biasa yang dipakai sebagai asesoris kalung. Namun manfaat ganda selain kalung, juga untuk tempat kapur makan pinang. Dalam sehari, Beny bisa menyelesaikan 30 tempat kapur dari biji bitanggor. Tempat kapur olahannya dijual dengan harga berfariasi.“Ada yang dijual seharga 20, 30 dan 50 ribu rupiah,” kata Beni.
Mulanya lelaki asal Biak ini memahat patung. Namun peminat patung tidak banyak. Kurang mendatangkan uang, akhirnya ia banting stir. Beny mulai melirik biji bitanggor sebagai pengganti pemahat patung. Pengolahan biji itu untuk menambah usaha ekonomi keluarga.
Buah tangan Beni, benar-benar menarik. Sepintas saat digantung, tampak seperti kalung. Orang akan melihat itu buah pinang. Ternyata bukan, itu tempat kapur. Dia bangga, karena hasil karyanya bisa membiayai sekolah ketiga anaknya. Dua orang anak perempuannya kini telah melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Masing-masing di Universitas Yapis (Uniyap) Jayapura, dan Universitas Cenderawasih Jayapura. Selanjutnya, anak bungsu di bangku Sekolah Dasar.
Beny mengaku, bukan hanya bitanggor yang menjadi usahanya. Saat ini dia bersama sang isteri, Salonika Rumbairusi,punya usaha di Manokwari, Papua Barat. Mereka telah menyewa sebuah ruko (rumah toko) untuk membuka toko seni (Art Shop). Toko Seni itu beralamat di Pasar Sanggeng Manokwari. “Kami sewa per tahun 15 juta rupiah. Lumayan sudah setahun ini bisa mengembalikan modal,” ungkapnya. Toko seni milik Beny Rumbiak bersama isteri, Salonika Rumbairusi menjual souvenir sisir bambu, kulit kayu, kaos Papua dan gantungan kunci termasuk tempat kapur dari bitanggor.
Mantan Sekretaris Dewan Kesenian Tanah Papua, Pendeta Jhon Wanane mengaku, potensi alam di Papua sebenarnya bisa mendatangkan nilai ekonomi, jika dilirik secara baik seperti yang dilakukan Beny Rumbiak. “Cara pandang orang seniman, selalu melihat yang kurang baik selalu indah, namun menurut orang awam selalu tidak indah. Itulah seni,” ungkapnya. [TabloidJubi| TabloidJubi]
Namun berbeda dengan penilaian Beny Rumbiak. Lelaki usia 50 tahun itu, salah satu dari sekian orang yang melirik biji bitanggor. Ia memanfaatkan bitanggor menjadi benda ekonomis. Siang itu, Minggu, 25 Agustus 2013, Lelaki beranak tiga itu sedang mengais pasir mencari biji bitanggor yang terkubur di pasir. Alhasil, hampir satu kantong plastik berisi bitanggor. “Setelah ini saya keruk isinya didalam, lalu cuci dan keringkan. Sesudah itu di amplas, lalu saya rekayasa penutupnya dengan penutup odol gigi. Pekerjaan terakhir adalah diberi warna seperti pinang,” ungkap Beny ke tabloidjubi.com di Pantai Base G Jayapura, Minggu.
Dia merubahnya menjadi kalung pinang. Terlihat sepintas seperti kalung biasa yang dipakai sebagai asesoris kalung. Namun manfaat ganda selain kalung, juga untuk tempat kapur makan pinang. Dalam sehari, Beny bisa menyelesaikan 30 tempat kapur dari biji bitanggor. Tempat kapur olahannya dijual dengan harga berfariasi.“Ada yang dijual seharga 20, 30 dan 50 ribu rupiah,” kata Beni.
Mulanya lelaki asal Biak ini memahat patung. Namun peminat patung tidak banyak. Kurang mendatangkan uang, akhirnya ia banting stir. Beny mulai melirik biji bitanggor sebagai pengganti pemahat patung. Pengolahan biji itu untuk menambah usaha ekonomi keluarga.
Buah tangan Beni, benar-benar menarik. Sepintas saat digantung, tampak seperti kalung. Orang akan melihat itu buah pinang. Ternyata bukan, itu tempat kapur. Dia bangga, karena hasil karyanya bisa membiayai sekolah ketiga anaknya. Dua orang anak perempuannya kini telah melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Masing-masing di Universitas Yapis (Uniyap) Jayapura, dan Universitas Cenderawasih Jayapura. Selanjutnya, anak bungsu di bangku Sekolah Dasar.
Beny mengaku, bukan hanya bitanggor yang menjadi usahanya. Saat ini dia bersama sang isteri, Salonika Rumbairusi,punya usaha di Manokwari, Papua Barat. Mereka telah menyewa sebuah ruko (rumah toko) untuk membuka toko seni (Art Shop). Toko Seni itu beralamat di Pasar Sanggeng Manokwari. “Kami sewa per tahun 15 juta rupiah. Lumayan sudah setahun ini bisa mengembalikan modal,” ungkapnya. Toko seni milik Beny Rumbiak bersama isteri, Salonika Rumbairusi menjual souvenir sisir bambu, kulit kayu, kaos Papua dan gantungan kunci termasuk tempat kapur dari bitanggor.
Mantan Sekretaris Dewan Kesenian Tanah Papua, Pendeta Jhon Wanane mengaku, potensi alam di Papua sebenarnya bisa mendatangkan nilai ekonomi, jika dilirik secara baik seperti yang dilakukan Beny Rumbiak. “Cara pandang orang seniman, selalu melihat yang kurang baik selalu indah, namun menurut orang awam selalu tidak indah. Itulah seni,” ungkapnya. [TabloidJubi| TabloidJubi]