Benhur Tomi Mano Namai Jembatan Susilo Bambang Yudhoyono, Ondoafi Namakan Jembatan Sberi
pada tanggal
Thursday, 15 August 2013
KOTA JAYAPURA – Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano memastikan, bahwa Oktober 2013, pemerintah akan membangun jembatan layang yang menghubungkan Pantai Hamadi dan Pantai Injros. Dananya bersumber dari APBN, APBD Provinsi Papua dan APBD Kota Jayapura.
“Jembatan itu akan diberi nama, Jembatan Susilo Bambang Yudhoyono atau Jembatan SBY,” kata Walikota Jayapura, Benhur Tommy seperti yang dilansir sejumlah media di Jayapura, Sabtu (10/08/2013).
Untuk melicinkan rencana itu, Walikota merangkul seluruh Ondoafi di Teluk Yotefa dalam sebuah rapat. Hasil rapat ini, para ondoafi menyatakan setuju untuk pembangunan Jembatan SBY itu. Hanya saja, para ondoafi dan tua-tua adat lainnya, menginginkan jembtan itu diberi nama Sberi sesuai dengan nama tanjung yang akan menjadi lokasi pembangunan jembatan.
“Presiden SBY boleh menandatangani prasasi pembangunan jembatan, tapi nama jembatan itu, harus jembatan Sberi,” ungkap Mantan Direktur WWF Region Papua, Lin Maloali melalui pesannya di Facebook pada Minggu, 11 Agustus 2013.
Sementara itu, menurut penulusuran Majalah Selangkah, bahwa sekitar tahun 1980-an, pemerintah pernah berencana membuat jembatan yang melewati Tanjung Sberi (dari ujung pantai wisata Hamadi ke pantai Injros – pantai kasuari), Saat itu, Menteri Lingkungannya, Emil Salim.
Ketika pemerintah menyampaikan rencananya itu, lalu muncul aksi protes keras dari para aktivis lingkungan di Jayapura yang dimotori George Junus Aditjondro bersama aktivis lainnya di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (Irian Jaya (YPMD-Irja), seperti Abner Korwa dan juga seorang putra asli Injros, Luis Iwo.
Gara-gara protes dari para aktivis itu, pemerintah membatalkan rencana itu. Tapi sekarang, setelah 30-an tahun, ketika hutan Bakau (mangrove) hilang, pohon sagu hilang, ikan pun ikut lari (menghilang), lalu pemerintah menyetujui bahkan sudah dipastikan, akan membangun jembataan yang melewati Tanjung Sberi.
Hanya saja menurut penelusuran Majalah Selangkah, bahwa Pemerintah belum atau tidak mensosialisasikan Studi Analisa dampak lingkungan (AMDAL), studi Analisa Dampak sosial (AMSOS) dan studi kelayakan lainnya. Pemerintah degan kewenangan yang dimilikinya, mendekati (memaksa) para tetua adat dan pemilik tanah dan laut untuk menyetujui pembangunan jembatan itu.
Lebih parah lagi, pembangunan jembatan ini dijadikan prestise para penguasa di kota Jayapura dan Provinsi Papua. Para Wakil rakyat pun ikut menari di atas ketidak-tahuan rakyat. Sementara rakyat sebagai pemilik negeri ini seperti disosok hidungnya dan hanya bisa mengikuti saja, apa maunya pemrintah.
Max Ireeuw, salah seorang anak asli dari Teluk Yotefa menyesalkan sikap pemerintah yang tidak mensosialisasikan hasil studi lingkungan, soaial, ekonomi, budaya dan studi kelayakan lainnya. Rakyat hanya diminta untuk menyetujui rencana pemerintah ini. Para Wakil rakyat pun ikut menari di atas ketidak-tahuan rakyat.
"Sementara rakyat sebagai pemilik negeri ini seperti disosok hidungnya dan hanya bisa mengikuti saja, apa maunya pemrintah. Waah sedih," kata Max. [MajalahSelangkah]
“Jembatan itu akan diberi nama, Jembatan Susilo Bambang Yudhoyono atau Jembatan SBY,” kata Walikota Jayapura, Benhur Tommy seperti yang dilansir sejumlah media di Jayapura, Sabtu (10/08/2013).
Untuk melicinkan rencana itu, Walikota merangkul seluruh Ondoafi di Teluk Yotefa dalam sebuah rapat. Hasil rapat ini, para ondoafi menyatakan setuju untuk pembangunan Jembatan SBY itu. Hanya saja, para ondoafi dan tua-tua adat lainnya, menginginkan jembtan itu diberi nama Sberi sesuai dengan nama tanjung yang akan menjadi lokasi pembangunan jembatan.
“Presiden SBY boleh menandatangani prasasi pembangunan jembatan, tapi nama jembatan itu, harus jembatan Sberi,” ungkap Mantan Direktur WWF Region Papua, Lin Maloali melalui pesannya di Facebook pada Minggu, 11 Agustus 2013.
Sementara itu, menurut penulusuran Majalah Selangkah, bahwa sekitar tahun 1980-an, pemerintah pernah berencana membuat jembatan yang melewati Tanjung Sberi (dari ujung pantai wisata Hamadi ke pantai Injros – pantai kasuari), Saat itu, Menteri Lingkungannya, Emil Salim.
Ketika pemerintah menyampaikan rencananya itu, lalu muncul aksi protes keras dari para aktivis lingkungan di Jayapura yang dimotori George Junus Aditjondro bersama aktivis lainnya di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (Irian Jaya (YPMD-Irja), seperti Abner Korwa dan juga seorang putra asli Injros, Luis Iwo.
Gara-gara protes dari para aktivis itu, pemerintah membatalkan rencana itu. Tapi sekarang, setelah 30-an tahun, ketika hutan Bakau (mangrove) hilang, pohon sagu hilang, ikan pun ikut lari (menghilang), lalu pemerintah menyetujui bahkan sudah dipastikan, akan membangun jembataan yang melewati Tanjung Sberi.
Hanya saja menurut penelusuran Majalah Selangkah, bahwa Pemerintah belum atau tidak mensosialisasikan Studi Analisa dampak lingkungan (AMDAL), studi Analisa Dampak sosial (AMSOS) dan studi kelayakan lainnya. Pemerintah degan kewenangan yang dimilikinya, mendekati (memaksa) para tetua adat dan pemilik tanah dan laut untuk menyetujui pembangunan jembatan itu.
Lebih parah lagi, pembangunan jembatan ini dijadikan prestise para penguasa di kota Jayapura dan Provinsi Papua. Para Wakil rakyat pun ikut menari di atas ketidak-tahuan rakyat. Sementara rakyat sebagai pemilik negeri ini seperti disosok hidungnya dan hanya bisa mengikuti saja, apa maunya pemrintah.
Max Ireeuw, salah seorang anak asli dari Teluk Yotefa menyesalkan sikap pemerintah yang tidak mensosialisasikan hasil studi lingkungan, soaial, ekonomi, budaya dan studi kelayakan lainnya. Rakyat hanya diminta untuk menyetujui rencana pemerintah ini. Para Wakil rakyat pun ikut menari di atas ketidak-tahuan rakyat.
"Sementara rakyat sebagai pemilik negeri ini seperti disosok hidungnya dan hanya bisa mengikuti saja, apa maunya pemrintah. Waah sedih," kata Max. [MajalahSelangkah]