Anita Matahari, Pionir Pengembangan Wisata yang Memiliki 45 Resor di Raja Ampat
pada tanggal
Thursday, 1 August 2013
WAISIAI (RAJA AMPAT) - Ia dan suaminya menjadi pionir pengembangan wisata di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Dari hanya berusaha seorang diri, kini sudah ada 45 resor di kawasan Raja Ampat. Anita dan suaminya, Max J Ammer, mencoba mengajak masyarakat Papua berdaya dengan yang mereka punya.
Dialah Anita Matahari, sosok penting di PT Papua Diving, pionir usaha jasa wisata di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Anita adalah Komisaris PT Papua Diving, perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang bergerak dalam usaha jasa wisata di Raja Ampat.
Cikal bakal PT Papua Diving mulai muncul di Papua pada tahun 1994. Saat itu, Anita dan suaminya yang sebelumnya tinggal di Belanda (kewarganegaraan sang suami), memutuskan untuk menetap di Papua setelah lebih kurang 2 tahun tinggal berdua di Belanda.
”Suami saya sejak sebelum menikah memang ingin melakukan survei ke tiga tempat, yaitu Halmahera, Biak, dan Raja Ampat. Setelah menikah, kami sepakat memilih Raja Ampat,” ujar Anita. Suami Anita adalah teknisi dari suatu perusahaan pelatihan selam.
Keputusan itu awalnya berat bagi Anita, karena sebagai anak kota yang tumbuh dan belajar di kota, bayangan tinggal di pedalaman cukup menakutkan. Namun lama-lama, sambil menikmati keelokan alam Papua yang asri, belajar mengenali karakter dan budaya masyarakat setempat menjadikan hari-hari Anita tidak pernah sepi.
”Kami datang saat kondisi saat itu belum kondusif. Banyak nelayan mengebom karang mencari ikan, banyak konflik soal lahan, hingga kecurigaan kepada kami sebagai keluarga ekspatriat yang dinilai hanya akan mencuri harta Papua. Semuanya membuat saya belajar banyak hal. Di sini menjadi sangat dinamis. Bukan sepi seperti yang awalnya saya bayangkan,” ujar ibu tiga anak tersebut. Upaya Anita bersama aparat menyisir pantai terus dilakukan agar tidak ada pengeboman ikan yang merusak karang.
Tahun 1994, Anita dan suaminya membentuk CV yang mengelola usaha diving di tiga pulau di Raja Ampat, yaitu Pulau Matan, Way, dan Kri. Tahun 1998, usahanya berubah menjadi perseroan terbatas (PT) dengan bentuk penanaman modal dalam negeri. Tahun 2000, perusahaan Anita mulai fokus hanya "menggarap" Pulau Kri. Ide pengembangan usaha menjadi job desc sang suami. Adapun tugas Anita adalah administrasi kantor, hubungan dengan masyarakat, hingga dengan pemerintahan.
”Suami saya tipikalnya tegas dan kaku. Saya yang bertugas ’menerjemahkannya’ dengan cara yang lebih Indonesia, baik kepada masyarakat ataupun kepada pemerintah. Kalau tidak begitu, komunikasi tidak akan berjalan,” ujar Anita.
Untuk lebih bisa mengembangkan usahanya, tahun 2004, PT Papua Diving berubah bentuk menjadi penanaman modal asing.
Peternakan karang
Saat masuk pertama kali ke Raja Ampat, lokasi yang disewa Anita sangat rusak. Nelayan dari Jawa dan Kalimantan, rata-rata mencari ikan dengan mengebom. Akibatnya, banyak karang rusak dan mati. ”Kami bersama polisi dan tentara bahkan sering mengejar nelayan yang menangkap ikan dengan mengebom,” kisah Anita.
Saat PT Papua Diving masuk, mereka berbuat sebaliknya. Mereka menyewa ahli biologi kelautan asal Inggris untuk membuat peternakan koral (coral farm). Di lahan seluas 100 meter, peternakan koral itu dibangun. Secara perlahan, terumbu karang di sana mulai hidup kembali. Karang dengan ikan-ikannya yang awalnya punah, kini kembali melimpah.
Awalnya populasi ikan di Raja Ampat dianggap kalah dari Papua Niugini dengan 279 jenis ikan. Namun, tahun 2000 saat diteliti oleh ahli ikan asal berbagai negara, ditemukan bahwa jumlah populasi ikan di Raja Ampat sekitar 287 jenis. Tahun 2012, jumlahnya terus bertambah menjadi 391 jenis.
PT Papua Diving saat ini menyewa 3,5 hektar (ha) lahan di Raja Ampat. Ia membuat resor-resor etnik, sebagai salah satu paket wisata yang ditawarkan. Satu paket wisata menikmati wisata bahari atau gunung, antara 1 minggu hingga 3 minggu. Harga jual paket wisata tersebut antara 1.200-2.300 euro atau sekitar Rp 35 juta per orang.
Meski terbilang mahal jika dinilai dengan rupiah, tetapi banyak juga turis asal Amerika dan Eropa mengambil paket-paket wisata yang ditawarkan. Dalam sebulan, rata-rata ada 100-an wisatawan menikmati keelokan Papua melalui jasa PT Papua Diving.
”Namun tujuan kami bukan berorientasi profit. Kami ingin mengajak orang Papua turut merasakan manfaat dari alamnya,” ujar Anita. Sebanyak 75 dari 100 karyawan PT Papua Diving adalah orang lokal Papua. Mereka dilatih bekerja, dilatih manajemen, dilatih beragam bahasa, hingga mahir.
”Ada seorang pemandu selam kami yang hanya lulusan SMA, kini sudah mahir empat bahasa, dan pandai dalam hal manajemen. Ia kini menjadi manajer selam, dan saya berencana akan membagikan saham perusahaan kepadanya,” ujar Anita.
Anita tidak segan-segan mengirim karyawannya mengikuti pelatihan ke luar kota. Membantu perusahaan kecil lain dalam hal manajemen perusahaan sehingga perusahaan itu pun ikut berkembang. Kepada seluruh karyawannya, Anita pun menerapkan prinsip kekeluargaan. Warga lokal yang awalnya sulit diajak kerja sama, kini menjadi loyal karena merasa "diorangkan".
Anita berprinsip, "diberkati untuk memberkati". Layaknya matahari, ia ingin menyinari bumi Papua.
Anita yang sudah mendapat penghidupan baik, ingin mengajak orang-orang Papua lebih baik lagi. Hidup lebih baik di Papua, di bumi perawan nan menawan. [Kompas| Kompas]
Dialah Anita Matahari, sosok penting di PT Papua Diving, pionir usaha jasa wisata di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Anita adalah Komisaris PT Papua Diving, perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang bergerak dalam usaha jasa wisata di Raja Ampat.
Cikal bakal PT Papua Diving mulai muncul di Papua pada tahun 1994. Saat itu, Anita dan suaminya yang sebelumnya tinggal di Belanda (kewarganegaraan sang suami), memutuskan untuk menetap di Papua setelah lebih kurang 2 tahun tinggal berdua di Belanda.
”Suami saya sejak sebelum menikah memang ingin melakukan survei ke tiga tempat, yaitu Halmahera, Biak, dan Raja Ampat. Setelah menikah, kami sepakat memilih Raja Ampat,” ujar Anita. Suami Anita adalah teknisi dari suatu perusahaan pelatihan selam.
Keputusan itu awalnya berat bagi Anita, karena sebagai anak kota yang tumbuh dan belajar di kota, bayangan tinggal di pedalaman cukup menakutkan. Namun lama-lama, sambil menikmati keelokan alam Papua yang asri, belajar mengenali karakter dan budaya masyarakat setempat menjadikan hari-hari Anita tidak pernah sepi.
”Kami datang saat kondisi saat itu belum kondusif. Banyak nelayan mengebom karang mencari ikan, banyak konflik soal lahan, hingga kecurigaan kepada kami sebagai keluarga ekspatriat yang dinilai hanya akan mencuri harta Papua. Semuanya membuat saya belajar banyak hal. Di sini menjadi sangat dinamis. Bukan sepi seperti yang awalnya saya bayangkan,” ujar ibu tiga anak tersebut. Upaya Anita bersama aparat menyisir pantai terus dilakukan agar tidak ada pengeboman ikan yang merusak karang.
Tahun 1994, Anita dan suaminya membentuk CV yang mengelola usaha diving di tiga pulau di Raja Ampat, yaitu Pulau Matan, Way, dan Kri. Tahun 1998, usahanya berubah menjadi perseroan terbatas (PT) dengan bentuk penanaman modal dalam negeri. Tahun 2000, perusahaan Anita mulai fokus hanya "menggarap" Pulau Kri. Ide pengembangan usaha menjadi job desc sang suami. Adapun tugas Anita adalah administrasi kantor, hubungan dengan masyarakat, hingga dengan pemerintahan.
”Suami saya tipikalnya tegas dan kaku. Saya yang bertugas ’menerjemahkannya’ dengan cara yang lebih Indonesia, baik kepada masyarakat ataupun kepada pemerintah. Kalau tidak begitu, komunikasi tidak akan berjalan,” ujar Anita.
Untuk lebih bisa mengembangkan usahanya, tahun 2004, PT Papua Diving berubah bentuk menjadi penanaman modal asing.
Peternakan karang
Saat masuk pertama kali ke Raja Ampat, lokasi yang disewa Anita sangat rusak. Nelayan dari Jawa dan Kalimantan, rata-rata mencari ikan dengan mengebom. Akibatnya, banyak karang rusak dan mati. ”Kami bersama polisi dan tentara bahkan sering mengejar nelayan yang menangkap ikan dengan mengebom,” kisah Anita.
Saat PT Papua Diving masuk, mereka berbuat sebaliknya. Mereka menyewa ahli biologi kelautan asal Inggris untuk membuat peternakan koral (coral farm). Di lahan seluas 100 meter, peternakan koral itu dibangun. Secara perlahan, terumbu karang di sana mulai hidup kembali. Karang dengan ikan-ikannya yang awalnya punah, kini kembali melimpah.
Awalnya populasi ikan di Raja Ampat dianggap kalah dari Papua Niugini dengan 279 jenis ikan. Namun, tahun 2000 saat diteliti oleh ahli ikan asal berbagai negara, ditemukan bahwa jumlah populasi ikan di Raja Ampat sekitar 287 jenis. Tahun 2012, jumlahnya terus bertambah menjadi 391 jenis.
PT Papua Diving saat ini menyewa 3,5 hektar (ha) lahan di Raja Ampat. Ia membuat resor-resor etnik, sebagai salah satu paket wisata yang ditawarkan. Satu paket wisata menikmati wisata bahari atau gunung, antara 1 minggu hingga 3 minggu. Harga jual paket wisata tersebut antara 1.200-2.300 euro atau sekitar Rp 35 juta per orang.
Meski terbilang mahal jika dinilai dengan rupiah, tetapi banyak juga turis asal Amerika dan Eropa mengambil paket-paket wisata yang ditawarkan. Dalam sebulan, rata-rata ada 100-an wisatawan menikmati keelokan Papua melalui jasa PT Papua Diving.
”Namun tujuan kami bukan berorientasi profit. Kami ingin mengajak orang Papua turut merasakan manfaat dari alamnya,” ujar Anita. Sebanyak 75 dari 100 karyawan PT Papua Diving adalah orang lokal Papua. Mereka dilatih bekerja, dilatih manajemen, dilatih beragam bahasa, hingga mahir.
”Ada seorang pemandu selam kami yang hanya lulusan SMA, kini sudah mahir empat bahasa, dan pandai dalam hal manajemen. Ia kini menjadi manajer selam, dan saya berencana akan membagikan saham perusahaan kepadanya,” ujar Anita.
Anita tidak segan-segan mengirim karyawannya mengikuti pelatihan ke luar kota. Membantu perusahaan kecil lain dalam hal manajemen perusahaan sehingga perusahaan itu pun ikut berkembang. Kepada seluruh karyawannya, Anita pun menerapkan prinsip kekeluargaan. Warga lokal yang awalnya sulit diajak kerja sama, kini menjadi loyal karena merasa "diorangkan".
Anita berprinsip, "diberkati untuk memberkati". Layaknya matahari, ia ingin menyinari bumi Papua.
Anita yang sudah mendapat penghidupan baik, ingin mengajak orang-orang Papua lebih baik lagi. Hidup lebih baik di Papua, di bumi perawan nan menawan. [Kompas| Kompas]