World Wide Fund for Nature (WWF) Tanam Pohon Bakau Bersama Masyarakat Kampung Peer dan Yepem
pada tanggal
Tuesday, 2 July 2013
AGATS (ASMAT) - World Wide Fund for Nature (WWF) membina dan mengajak masyarakat Kampung Peer dan Kampung Yepem menanam pohon bakau atau mangrove di atas lahan 1,5 hektare di sepanjang garis pantai kampung. Penanaman itu dilakukan untuk melindunggi perkampungan warga dari ombak, tsunami dan erosi.
Pernyataan itu disampaikan Koordinator Forest WWF Asmat, Agust Wianimo, kepada wartawan dalam trip jurnlias WWF dan sekaligus pemasangan papan nama kelompok restorasi di Kampung Yepen dan Kampung Peer, Distrik Agast, Kabupaten Asmat, Papua, belum lama ini.
Menurut Agust, penaman bakau ini dilakukan untuk beberapa tujuan. Diantaranya, penanaman ini bagian dari melindunggi kampung dari ombak dan erosi. Juga untuk mengikat ekosistem laut yang menjadi sumber pencaharian di sepanjang pinggiran pantai. “Kalau ada mangrove, otomatis mengikat ekosistem laut di sana ada ikan, udang dan kepiting,” katanya.
Menurut Agust, program retorasi ini dimulai Mei 2013 lalu. “Kita mulai satu bulan lalu dengan membentuk kelompok persemaian. Persemaian bibit bakau di dua kampung ini dengan jumlah yang sama. USAID minta 1000 bibit bakau, tetapi kita semai di dua kampung ini masing-masing 1.500 bibit. Kampung Yepem ada 1.500 dan Kampung Peer ada 1.500 bibit,” katanya.
Masyarakat menyambut baik program ini. “Dulu ini hutan tetapi habis karena ombak jadi kami senang ada penghijauan. Penghijauan ini melindungi kampung dari air. Kelompok persemaian ini kemungkinan tak akan jalan kalau tak ada pendampingan serius dari WWF. Kami tanpa didukung dana dan pendampingan, jelas tak bisa jalan. Kami butuh waktu,” tutur Ketua Kelompok Persemaian dari Kampung Yepem, Adam Denwe.
Agust mengakui, kelemaham masyarakat tidak mandiri itu menjadi kendala utama dalam program restorasi di Kabupaten Asmat. “Masyarakat ini belum memahami pentingnya restorasi sehingga tidak akan jalan tanpa pendampingan. Mereka rajin kalau kita ada bersama mereka. Masyarakat butuh waktu sekitar satu tahun untuk jadi mandiri,” katanya. [TabloidJubi| TabloidJubi]
Pernyataan itu disampaikan Koordinator Forest WWF Asmat, Agust Wianimo, kepada wartawan dalam trip jurnlias WWF dan sekaligus pemasangan papan nama kelompok restorasi di Kampung Yepen dan Kampung Peer, Distrik Agast, Kabupaten Asmat, Papua, belum lama ini.
Menurut Agust, penaman bakau ini dilakukan untuk beberapa tujuan. Diantaranya, penanaman ini bagian dari melindunggi kampung dari ombak dan erosi. Juga untuk mengikat ekosistem laut yang menjadi sumber pencaharian di sepanjang pinggiran pantai. “Kalau ada mangrove, otomatis mengikat ekosistem laut di sana ada ikan, udang dan kepiting,” katanya.
Menurut Agust, program retorasi ini dimulai Mei 2013 lalu. “Kita mulai satu bulan lalu dengan membentuk kelompok persemaian. Persemaian bibit bakau di dua kampung ini dengan jumlah yang sama. USAID minta 1000 bibit bakau, tetapi kita semai di dua kampung ini masing-masing 1.500 bibit. Kampung Yepem ada 1.500 dan Kampung Peer ada 1.500 bibit,” katanya.
Masyarakat menyambut baik program ini. “Dulu ini hutan tetapi habis karena ombak jadi kami senang ada penghijauan. Penghijauan ini melindungi kampung dari air. Kelompok persemaian ini kemungkinan tak akan jalan kalau tak ada pendampingan serius dari WWF. Kami tanpa didukung dana dan pendampingan, jelas tak bisa jalan. Kami butuh waktu,” tutur Ketua Kelompok Persemaian dari Kampung Yepem, Adam Denwe.
Agust mengakui, kelemaham masyarakat tidak mandiri itu menjadi kendala utama dalam program restorasi di Kabupaten Asmat. “Masyarakat ini belum memahami pentingnya restorasi sehingga tidak akan jalan tanpa pendampingan. Mereka rajin kalau kita ada bersama mereka. Masyarakat butuh waktu sekitar satu tahun untuk jadi mandiri,” katanya. [TabloidJubi| TabloidJubi]