Tregedi Berdarah di Nabire Diharapkan Tidak Mematikan Gairah Tinju di Tanah Papua
pada tanggal
Friday, 26 July 2013
NABIRE - Huru-hara sesaat yang mengakibatkan 18 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka, pada final pagelaran tinju Piala Bupati Nabire Minggu malam (14/07/2013) lalu, memang menggugah rasa kemanusiaan.
Tidak hanya keluarga para korban, namun juga masyarakat Indonesia. Tetapi apakah kasus itu, lalu mematikan gairah dunia tinju di Tanah Papua?.
Rasanya, terlampau naif untuk menyimpulkan bahwa pagelaran tinju itu diikhtiarkan untuk menuai kekacauan, lalu dari kekacauan itu, menjadi alat pembenaran bagi "pembunuhan" atas sejumlah orang.
Karena itu, mestinya, publik tidak perlu terburu-buru untuk menyalahkan Bupati Kabupaten Nabire, Pertina, panitia penyelenggara dan aparat keamanan atau pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan.
Tegakah Bupati Nabire Isaias Douw merekayasa sebuah kekacauan untuk membunuh anak-anak Nabire?, tegakah panitia mengorbankan nyawa manusia demi sebuah prestise ? dan tegakah aparat keamanan membiarkan kekacauan itu berlangsung, agar bisa membawa korban nyawa?. Rasanya, tidak mungkin, karena bupati, panitia, pengurus Pertina, aparat keamanan, juga adalah manusia yang memiliki hati nurani.
Bahwa dari niat baik bupati, Pertina setempat dan panitia, ternyata berakhir tragis, adalah sebuah kenyataan pahit. Bahwa akhir dari malam final tinju itu membawa duka dan catatan kelam bagi dunia tinju di Tanah Papua, adalah sebuah realitas, namun mestinya bisa disikapi secara lebih bijaksana.
Memang banyak pihak yang melontarkan kecaman, bahkan tuduhan segera setelah peristiwa Minggu malam kelabu itu, dan harus bisa dipahami sebagai reaksi emosional, sekaligus menjadi bahan refleksi bagi berbagai pihak yang ingin menggelar lomba, tidak hanya di dunia tinju, tetapi juga cabang olah raga lainnya.
Berkaitan dengan kearifan untuk meneropong persoalan secara jernih dimaksud, maka pernyataan Ketua KNPI Kabupaten Nabire, Nobertus Mote, patut menjadi bahan permenungan bersama yakni insiden itu terjadi sebagai akibat dari kelalaian bersama.
"Semua pihak bisa dikatakan lalai. Mungkin panitia lalai, petinju dan pelatih lalai, aparat keamanan juga lalai. Karena itu tidak boleh ada kambing hitam (saling menyalahkan)," kata Nobertus dalam suatu pernyataannya di Nabire, Selasa (23/07/2013).
Pernyataan Mote ini, harus bisa diterima sebagai cambuk bagi pihak manapun yang ingin menggelar perhelatan olah raga, supaya lebih cermat dan hati-hati, guna menghindari peristiwa serupa terjadi lagi.
Dari Nabire, diperoleh informasi bahwa seribuan orang yang berebut keluar di pintu GOR Kota Lama yang sempit itu, ketika sejumlah orang menyampaikan protes atas keputusan wasit yang memenangkan Alfius Jr Rumkorem atas lawannya, Yulianus Pigome, memicu kericuhan.
Suasana kemudian mengharu-biru, terjadi lemparan batu, teriakan histeris, orang-orang berlarian menyelamatkan diri dan kepanikan dengan segala bentuk aksi, dikabarkan ikut menyumbang huru-hara itu. Tak hanya penonton, petinju yang dinyatakan menang pun menjadi sasaran pukul sekelompok orang, bahkan ia harus menjebol dinding gedung dari papan untuk bisa menyelamatkan diri.
Bahkan, Bupati Isaias Douw pun ikut terkena pukulan dari orang yang tidak dikenalnya. Terbetik begitu banyak informasi yang terkadang dibumbui, sehingga menjadi sulit untuk diurai demi menempatkan persoalan pada porsinya yang tepat. Yang jelas, di tengah hiruk-pikuk hujatan, cemoohan dan makian publik pada pagelaran itu, Ketua Pertina Nabire, Hendrik Andoi, memperlihatkan rasa tanggungjawabnya dengan meletakkan jabatan.
Barangkali keputusan itu agar terburu-buru dan bisa menimbulkan bermacam-macam penafsiran, namun Andoi memiliki keputusan otonom. Tidak hanya itu, petinju yang memenangkan pertandingan malam itu yang kemudian memicu protes dari sekelompok orang, Alfius Jr Rumkorem pun memutuskan menggantung sarung tinju, karena trauma atas tragedi yang juga menewaskan kakak tertuanya, Yacob Rumkorem.
"Ini tekad bulat saya, tujuh turunan, saya tidak akan terlibat lagi dalam aktivitas tinju," kata Alfius dengan nada getir mengenang kepergian kakak tertuanya, bahkan nyawapun nyaris tergadaikan. Untung, dia dilarikan seorang tukang ojek. [Antara]
Tidak hanya keluarga para korban, namun juga masyarakat Indonesia. Tetapi apakah kasus itu, lalu mematikan gairah dunia tinju di Tanah Papua?.
Rasanya, terlampau naif untuk menyimpulkan bahwa pagelaran tinju itu diikhtiarkan untuk menuai kekacauan, lalu dari kekacauan itu, menjadi alat pembenaran bagi "pembunuhan" atas sejumlah orang.
Karena itu, mestinya, publik tidak perlu terburu-buru untuk menyalahkan Bupati Kabupaten Nabire, Pertina, panitia penyelenggara dan aparat keamanan atau pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan.
Tegakah Bupati Nabire Isaias Douw merekayasa sebuah kekacauan untuk membunuh anak-anak Nabire?, tegakah panitia mengorbankan nyawa manusia demi sebuah prestise ? dan tegakah aparat keamanan membiarkan kekacauan itu berlangsung, agar bisa membawa korban nyawa?. Rasanya, tidak mungkin, karena bupati, panitia, pengurus Pertina, aparat keamanan, juga adalah manusia yang memiliki hati nurani.
Bahwa dari niat baik bupati, Pertina setempat dan panitia, ternyata berakhir tragis, adalah sebuah kenyataan pahit. Bahwa akhir dari malam final tinju itu membawa duka dan catatan kelam bagi dunia tinju di Tanah Papua, adalah sebuah realitas, namun mestinya bisa disikapi secara lebih bijaksana.
Memang banyak pihak yang melontarkan kecaman, bahkan tuduhan segera setelah peristiwa Minggu malam kelabu itu, dan harus bisa dipahami sebagai reaksi emosional, sekaligus menjadi bahan refleksi bagi berbagai pihak yang ingin menggelar lomba, tidak hanya di dunia tinju, tetapi juga cabang olah raga lainnya.
Berkaitan dengan kearifan untuk meneropong persoalan secara jernih dimaksud, maka pernyataan Ketua KNPI Kabupaten Nabire, Nobertus Mote, patut menjadi bahan permenungan bersama yakni insiden itu terjadi sebagai akibat dari kelalaian bersama.
"Semua pihak bisa dikatakan lalai. Mungkin panitia lalai, petinju dan pelatih lalai, aparat keamanan juga lalai. Karena itu tidak boleh ada kambing hitam (saling menyalahkan)," kata Nobertus dalam suatu pernyataannya di Nabire, Selasa (23/07/2013).
Pernyataan Mote ini, harus bisa diterima sebagai cambuk bagi pihak manapun yang ingin menggelar perhelatan olah raga, supaya lebih cermat dan hati-hati, guna menghindari peristiwa serupa terjadi lagi.
Dari Nabire, diperoleh informasi bahwa seribuan orang yang berebut keluar di pintu GOR Kota Lama yang sempit itu, ketika sejumlah orang menyampaikan protes atas keputusan wasit yang memenangkan Alfius Jr Rumkorem atas lawannya, Yulianus Pigome, memicu kericuhan.
Suasana kemudian mengharu-biru, terjadi lemparan batu, teriakan histeris, orang-orang berlarian menyelamatkan diri dan kepanikan dengan segala bentuk aksi, dikabarkan ikut menyumbang huru-hara itu. Tak hanya penonton, petinju yang dinyatakan menang pun menjadi sasaran pukul sekelompok orang, bahkan ia harus menjebol dinding gedung dari papan untuk bisa menyelamatkan diri.
Bahkan, Bupati Isaias Douw pun ikut terkena pukulan dari orang yang tidak dikenalnya. Terbetik begitu banyak informasi yang terkadang dibumbui, sehingga menjadi sulit untuk diurai demi menempatkan persoalan pada porsinya yang tepat. Yang jelas, di tengah hiruk-pikuk hujatan, cemoohan dan makian publik pada pagelaran itu, Ketua Pertina Nabire, Hendrik Andoi, memperlihatkan rasa tanggungjawabnya dengan meletakkan jabatan.
Barangkali keputusan itu agar terburu-buru dan bisa menimbulkan bermacam-macam penafsiran, namun Andoi memiliki keputusan otonom. Tidak hanya itu, petinju yang memenangkan pertandingan malam itu yang kemudian memicu protes dari sekelompok orang, Alfius Jr Rumkorem pun memutuskan menggantung sarung tinju, karena trauma atas tragedi yang juga menewaskan kakak tertuanya, Yacob Rumkorem.
"Ini tekad bulat saya, tujuh turunan, saya tidak akan terlibat lagi dalam aktivitas tinju," kata Alfius dengan nada getir mengenang kepergian kakak tertuanya, bahkan nyawapun nyaris tergadaikan. Untung, dia dilarikan seorang tukang ojek. [Antara]