Sudah 38 Tahun, Hak Ulayat Nimbokrang, Besum dan Yapsi Belum Dibayar Pemerintah
pada tanggal
Monday, 29 July 2013
SENTANI (JAYAPURA) - Ketua tim pengurusan sengketa lahan transmigrasi Nimbokrang, Besum dan Yapsi di Kabupaten Jayapura, Benny Yan Notawa mengatakan sejak tahun 1975 pihaknya belum mendapatkan ganti rugi lahan dari pemerintah.
"Sudah 30 tahun lebih, atau tepatnya 38 tahun sejak dari 18 Juli 1975 hingga 28 Juli 2013, hak ulayat atau tanah kami yang dijadikan sebagai lahan transmigrasi di Nimbokrang, Besum dan Yapsi belum dibayar oleh pemerintah," kata Benny Yan Notawa kepada media di Jayapura, Minggu.
Dia menjelaskan bahwa pelepasan tanah pada terjadi pada 18 Juli 1975 dari pemilik tanah dan tetua adat kepada pemerintah setempat kala itu. Pelepasan itu disertai dengan sejumlah perjanjian dari pemerintah setempat dengan para pemilik lahan dan tetua adat. "Salah satu perjanjian, yang saya masih ingat hingga saat ini adalah pihak yang bersangkutan (pemerintah,red) akan memberikan imbalan ganti rugi atau kompensasi kepada kami selaku pemilik lahan. Tapi hingga kini hal itu tidak pernah dilakukan," katanya.
Lebih lanjut, Benny katakan bahwa perjanjian itu ditandatangani oleh bupati pertama Kabupaten Jayapura, Messet dan sejumlah instansi terkait yang berhubungan langsung dengan program transmigrasi. "Kami telah sampaikan hal ini kepada bupati Jayapura mulai dari kepemimpinan Messet, Barnabas Jouwe, Karafir dan Bupati Habel Melkias Suwae, yang rata-rata memimpin Jayapura dua periode tetapi masalah ini seakan-akan tenggelam dan tidak diperhatikan," katanya.
Sehingga, saat ini pihaknya memutuskan untuk melarang para warga transmigrasi di Nimbokrang, Besum, dan Yapsi untuk tidak melakukan aktivitas berladang atau berkebun termasuk melarang melakukan pembangunan atau jual beli lahan dan rumah. "Kami lakukan ini agar mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan pusat. Kami orang Papua tidak pernah membenci, memusuhi bahkan tidak ingin mencari masalah atau mengusir para transmigrasi didaerah tersebut," katanya.
Persoalan ini, kata Benny, sudah disampaikan ke DPD RI di Jakarta belum lama ini melalui panitia khusus konflik agraria dan sumber daya alam. "Saya dan Pak Bernadus Sanggrawai ke Jakarta bertemu dengan orang DPD RI asal Papua meminta selesaikan masalah ini, dan bertemu dengan sejumlah pihak. Yang pada akhirnya merespon dan berjanji bakal memberikan rekomendasi ke DPR RI untuk menindak lanjutinya ke instansi dan kementrian yang berwenang," katanya.
Benny menambahkan pihaknya telah bertemu dengan anggota Komisi I dan II DPR RI yakni Bapak Yorris Raweyai dan Ibu Agustina Basikbasik untuk ikut membantu dan mendorong agar permasalahan sengketa lahan di Kabupaten Jayapura agar segera dibahas didalam rapat komisi dengan pemerintah pusat.
Secara terpisah, Sumarno kepala kampung Benyom Jaya I Nimbrokang mengakui jikalau warga masyarakat transmigrasi yang ada didaerah tersebut sudah dilarang oleh adat dan pemilik hak ulayat untuk beraktivitas diladang atau kebun milik mereka.
"Yang terakhir saat kami akan membuat jalan secara swadaya dilarang oleh adat, bahkan mereka meminta ganti rugi. Rumah-rumah yang terlah bersertifikat diminta untuk dibayar ulang kepada adat. Kami mohon masalah ini secepatnya diperhatikan, kami hanya orang kecil yang ikut memberikan sumbangsih pembangunan didaerah ini," katanya.
Sementara itu, Asisten I Setda Kabupaten Jayapura I Nyoman Sucipta membenarkan jikalau ada sejumlah lahan transmigrasi yang belum terbayarkan oleh pemerintah. "Kami akui hal ini masih dalam proses penyelesaian. Dan beberapa waktu lalu bersama pewakilan dari tim sengketa lahan dari Nimborkrang, Besum dan Yapsi ikut ke Jakarta bertemu dengan DPD RI dan sejumlah pihak untuk mengurus hal ini," katanya.
Terkait pemalangan dan tindakan yang tidak terpuji lainnya yang pernah disampaikan oleh pihak adat dan pemilik lahan, I Nyoman telah meminta agar hal itu jangan sampai terjadi. Dan berharap pihak adat dan pemilik hak ulayat bisa menahan diri hingga masalah tersebut selesai. "Saya juga telah menyampaikan bahwa masalah ini telah diseriusi oleh pemerintah daerah. Agar kedepannya jika ada sesuatu hal untuk tidak diexpresikan dengan sikap-sikap yang kurang baik," katanya. [Antara]
"Sudah 30 tahun lebih, atau tepatnya 38 tahun sejak dari 18 Juli 1975 hingga 28 Juli 2013, hak ulayat atau tanah kami yang dijadikan sebagai lahan transmigrasi di Nimbokrang, Besum dan Yapsi belum dibayar oleh pemerintah," kata Benny Yan Notawa kepada media di Jayapura, Minggu.
Dia menjelaskan bahwa pelepasan tanah pada terjadi pada 18 Juli 1975 dari pemilik tanah dan tetua adat kepada pemerintah setempat kala itu. Pelepasan itu disertai dengan sejumlah perjanjian dari pemerintah setempat dengan para pemilik lahan dan tetua adat. "Salah satu perjanjian, yang saya masih ingat hingga saat ini adalah pihak yang bersangkutan (pemerintah,red) akan memberikan imbalan ganti rugi atau kompensasi kepada kami selaku pemilik lahan. Tapi hingga kini hal itu tidak pernah dilakukan," katanya.
Lebih lanjut, Benny katakan bahwa perjanjian itu ditandatangani oleh bupati pertama Kabupaten Jayapura, Messet dan sejumlah instansi terkait yang berhubungan langsung dengan program transmigrasi. "Kami telah sampaikan hal ini kepada bupati Jayapura mulai dari kepemimpinan Messet, Barnabas Jouwe, Karafir dan Bupati Habel Melkias Suwae, yang rata-rata memimpin Jayapura dua periode tetapi masalah ini seakan-akan tenggelam dan tidak diperhatikan," katanya.
Sehingga, saat ini pihaknya memutuskan untuk melarang para warga transmigrasi di Nimbokrang, Besum, dan Yapsi untuk tidak melakukan aktivitas berladang atau berkebun termasuk melarang melakukan pembangunan atau jual beli lahan dan rumah. "Kami lakukan ini agar mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan pusat. Kami orang Papua tidak pernah membenci, memusuhi bahkan tidak ingin mencari masalah atau mengusir para transmigrasi didaerah tersebut," katanya.
Persoalan ini, kata Benny, sudah disampaikan ke DPD RI di Jakarta belum lama ini melalui panitia khusus konflik agraria dan sumber daya alam. "Saya dan Pak Bernadus Sanggrawai ke Jakarta bertemu dengan orang DPD RI asal Papua meminta selesaikan masalah ini, dan bertemu dengan sejumlah pihak. Yang pada akhirnya merespon dan berjanji bakal memberikan rekomendasi ke DPR RI untuk menindak lanjutinya ke instansi dan kementrian yang berwenang," katanya.
Benny menambahkan pihaknya telah bertemu dengan anggota Komisi I dan II DPR RI yakni Bapak Yorris Raweyai dan Ibu Agustina Basikbasik untuk ikut membantu dan mendorong agar permasalahan sengketa lahan di Kabupaten Jayapura agar segera dibahas didalam rapat komisi dengan pemerintah pusat.
Secara terpisah, Sumarno kepala kampung Benyom Jaya I Nimbrokang mengakui jikalau warga masyarakat transmigrasi yang ada didaerah tersebut sudah dilarang oleh adat dan pemilik hak ulayat untuk beraktivitas diladang atau kebun milik mereka.
"Yang terakhir saat kami akan membuat jalan secara swadaya dilarang oleh adat, bahkan mereka meminta ganti rugi. Rumah-rumah yang terlah bersertifikat diminta untuk dibayar ulang kepada adat. Kami mohon masalah ini secepatnya diperhatikan, kami hanya orang kecil yang ikut memberikan sumbangsih pembangunan didaerah ini," katanya.
Sementara itu, Asisten I Setda Kabupaten Jayapura I Nyoman Sucipta membenarkan jikalau ada sejumlah lahan transmigrasi yang belum terbayarkan oleh pemerintah. "Kami akui hal ini masih dalam proses penyelesaian. Dan beberapa waktu lalu bersama pewakilan dari tim sengketa lahan dari Nimborkrang, Besum dan Yapsi ikut ke Jakarta bertemu dengan DPD RI dan sejumlah pihak untuk mengurus hal ini," katanya.
Terkait pemalangan dan tindakan yang tidak terpuji lainnya yang pernah disampaikan oleh pihak adat dan pemilik lahan, I Nyoman telah meminta agar hal itu jangan sampai terjadi. Dan berharap pihak adat dan pemilik hak ulayat bisa menahan diri hingga masalah tersebut selesai. "Saya juga telah menyampaikan bahwa masalah ini telah diseriusi oleh pemerintah daerah. Agar kedepannya jika ada sesuatu hal untuk tidak diexpresikan dengan sikap-sikap yang kurang baik," katanya. [Antara]