Stigma Orang Papua sebagai Separatis adalah Bagian dari Politisasi Negara
pada tanggal
Tuesday, 16 July 2013
KOTA JAYAPURA - Menyusul pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, yang menyatakan dirinya tidak ingin mendengar Gereja Papua disebut separatis, sebagaimana disampaikan pada acara penutupan rapat kerja Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua di Aula Gereja KINGMI di Sentani, Jumat (12/07/2013) lalu, mendapat tanggapan dari Aktivis dan Pejuang HAM Papua Mathius Murib.
Dikatakan Mathius Murib, stigma separatis kepada orang Papua adalah bagian dari politisasi, diantaranya untuk tak menangani kasus dugaan pelanggaran HAM dan mengadili pelakunya di Pengadilan HAM di Papua.
“Seharusnya jangan dipolitisir, tapi lihatlah kasus apa adanya, obyektif, ada korban, ada saksi, ada bukti hukum. Kalau seluruhnya sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM harus diadili. Tak bisa karena stigma lalu berhenti,” ujar Aktivis dan Pejuang HAM Papua Mathius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Minggu (14/07/2013) petang.
Dikatakan alasan itu secara umum ada dua. Pertama, alasan teknis seringkali kita dengar Kejaksaan Agung berpendapat temuan Komnas HAM kurang lebih ke masalah teknis dan administrasi.
“Silakan masalah teknis dan administrasi penting, tapi lebih penting dari itu adalah kasusnya, karena sampai kini korban dan keluarganya hingga kini sedang menunggu nasib dari kasus tersebut,” imbuhnya.
Kedua, saya duga dihubungkan orang Papua distigmatisasi sebagai separatis dugaan alasan lain alasan politik. Itu yang kuat sehingga negara ini belum berani memutuskan kasus tersebut karena alasan stigma separatis kepada orang Papua.
“Kami sebagai aktivis dan pejuang HAM serta keluarga korban tidak akan pernah lupa. Waktu silakan berjalan, perubahan silakan terjadi tapi untuk melupakan kasus tersebut tak mungkin. Sampai kapanpun akan terus disuarakan. Pemerintah harus terus didesak untuk mengambil sikap yang pasti dan resmi melalui mekanisme hukum yakni di Pengadilan HAM,” cetusnya.
Sehubungan stigma dalam kasus Wasior dan Wamena, kata Mathius Murib, pihaknya menduga pemerintah selalu menstigma dan mempolitisir orang-orang tersebut yang menjadi korban karena sudah dilabelkan dengan stigma separatis, akibatnya hak-hak mereka sebagai warga negara kemudian tak bisa diperjuangkan.
Mathius Murib menegaskan, fakta ideologi Papua merdeka akan terus ada selama orang Papua tinggal dan hidup di negeri ini. Ideologi tersebut jadi legitimasi pemerintah untuk memberi stigma separatis kepada orang Papua. Padahal apabila Papua adalah bagian dari NKRI. Karena itu, WNI yang adalah orang asli Papua seharusnya tak boleh distigma separatis.
Mathius Murib mengatakan, aktivis dan pejuang HAMdiseluruh Indonesia, bahkan di Australia, Belanda dan beberapa negara di Eropa secara serentak menyalakan lilin selama satu setengah jam di pinggir jalanpada Minggu (14/07/2013) pukul 20.00-21.30 WIT, untuk kampanye sepuluh tahun,dua dari sembilan kasus pelanggaran HAM ditelantarkan atau diabaikan di Indonesia, masing-masing kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003, yang memakan korban puluhan masyarakat asli Papua.
“Acaranya memegang poster dan menyalahkan lilin, untuk mengingatkan negara lalai dan abai menangani kasus pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena,” tegas Mathius Murib.
Dikatakan Mathius Murib, kasus Wasior dan kasus Wamena telah dibuktikan oleh Komnas HAM. Bahkan Komnas HAM telah pula melakukan penyelidikan seluruh unsur-unsur tentang dugaan pelanggaran HAM itu terpenuhi. Padahal yang harus dilakukan kasus tersebut diadili di Pengadilan HAM di Indonesia. Tapi sejak tahun 2003 kasus tersebut mengambang dan nasibnya tak jelas.
“Pemerintah harus menjelaskan alasannya karena ini adalah bagian dari pertanggungjawaban lembaga negara,” tukas Mathius Murib. [BintangPapua| BintangPapua]
Dikatakan Mathius Murib, stigma separatis kepada orang Papua adalah bagian dari politisasi, diantaranya untuk tak menangani kasus dugaan pelanggaran HAM dan mengadili pelakunya di Pengadilan HAM di Papua.
“Seharusnya jangan dipolitisir, tapi lihatlah kasus apa adanya, obyektif, ada korban, ada saksi, ada bukti hukum. Kalau seluruhnya sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM harus diadili. Tak bisa karena stigma lalu berhenti,” ujar Aktivis dan Pejuang HAM Papua Mathius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Minggu (14/07/2013) petang.
Dikatakan alasan itu secara umum ada dua. Pertama, alasan teknis seringkali kita dengar Kejaksaan Agung berpendapat temuan Komnas HAM kurang lebih ke masalah teknis dan administrasi.
“Silakan masalah teknis dan administrasi penting, tapi lebih penting dari itu adalah kasusnya, karena sampai kini korban dan keluarganya hingga kini sedang menunggu nasib dari kasus tersebut,” imbuhnya.
Kedua, saya duga dihubungkan orang Papua distigmatisasi sebagai separatis dugaan alasan lain alasan politik. Itu yang kuat sehingga negara ini belum berani memutuskan kasus tersebut karena alasan stigma separatis kepada orang Papua.
“Kami sebagai aktivis dan pejuang HAM serta keluarga korban tidak akan pernah lupa. Waktu silakan berjalan, perubahan silakan terjadi tapi untuk melupakan kasus tersebut tak mungkin. Sampai kapanpun akan terus disuarakan. Pemerintah harus terus didesak untuk mengambil sikap yang pasti dan resmi melalui mekanisme hukum yakni di Pengadilan HAM,” cetusnya.
Sehubungan stigma dalam kasus Wasior dan Wamena, kata Mathius Murib, pihaknya menduga pemerintah selalu menstigma dan mempolitisir orang-orang tersebut yang menjadi korban karena sudah dilabelkan dengan stigma separatis, akibatnya hak-hak mereka sebagai warga negara kemudian tak bisa diperjuangkan.
Mathius Murib menegaskan, fakta ideologi Papua merdeka akan terus ada selama orang Papua tinggal dan hidup di negeri ini. Ideologi tersebut jadi legitimasi pemerintah untuk memberi stigma separatis kepada orang Papua. Padahal apabila Papua adalah bagian dari NKRI. Karena itu, WNI yang adalah orang asli Papua seharusnya tak boleh distigma separatis.
Mathius Murib mengatakan, aktivis dan pejuang HAMdiseluruh Indonesia, bahkan di Australia, Belanda dan beberapa negara di Eropa secara serentak menyalakan lilin selama satu setengah jam di pinggir jalanpada Minggu (14/07/2013) pukul 20.00-21.30 WIT, untuk kampanye sepuluh tahun,dua dari sembilan kasus pelanggaran HAM ditelantarkan atau diabaikan di Indonesia, masing-masing kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003, yang memakan korban puluhan masyarakat asli Papua.
“Acaranya memegang poster dan menyalahkan lilin, untuk mengingatkan negara lalai dan abai menangani kasus pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena,” tegas Mathius Murib.
Dikatakan Mathius Murib, kasus Wasior dan kasus Wamena telah dibuktikan oleh Komnas HAM. Bahkan Komnas HAM telah pula melakukan penyelidikan seluruh unsur-unsur tentang dugaan pelanggaran HAM itu terpenuhi. Padahal yang harus dilakukan kasus tersebut diadili di Pengadilan HAM di Indonesia. Tapi sejak tahun 2003 kasus tersebut mengambang dan nasibnya tak jelas.
“Pemerintah harus menjelaskan alasannya karena ini adalah bagian dari pertanggungjawaban lembaga negara,” tukas Mathius Murib. [BintangPapua| BintangPapua]