Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otsus Perspektif Orang Asli Papua bagi Provinsi Papua dan Papua Barat akan Dilaksanakan 25-27 Juli 2013
pada tanggal
Wednesday, 24 July 2013
KOTA JAYAPURA - Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otsus Perspektif Orang Asli Papua bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yang difasilitasi MRP, dipastikan dilaksanakan tanggal 25-27 Juli 2013 dan akan dihadiri utusan dari 40 Kabupaten di di Tanah Papua.
Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat, Yakobus Dumupa menyatakan, sebagian peserta sudah berdatangan dan dipastikan seluruh perwakilan sesuai undangan menyatakan diri hadir, termasuk 14 narasumber yang akan hadir dan menyampaikan penilaian mereka terhadap implementasi Otsus Papua dalam 14 bidang.
Yakobus Dumupa menegaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan MRP ini tak terkait ideologi tertentu. Evaluasi Otsus ini juga tidak ada urusannya dengan kelompok ideologi tertentu, seperti kelompok Bintang Kejora (BK) atau merah putih.
Menurut dia, kita harus melihat evaluasi Otsus perspektif Orang Asli Papua ini dalam konteks kita sebagai orang Papua, bukan kita sebagai orang yang punya ideologi tertentu, tidak demikian. Karena itu, selaku Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat MRP ini menghimbau kepada semua masyarakat Papua untuk dapat melihat evaluasi yang akan dilaksanakan ini sebagai evaluasi dari kita sebagai orang Papua tanpa peduli ideologi apapun.” Jangan evaluasi ini dikaitkan dengan Ideologi tertentu”, tegasnya.
Sementara itu Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, rencana evaluasi Otsus Papua oleh MRP pada 25-27 Juli 2013 sesuai ketentuan UU Otsus, namun hal itu sangat disayangkan, karena setelah 12 tahun baru dilaksanakan ketentuan pasal 78 UU Otsus Papua dimaksud.
Diakuinya, memang MRP terlambat lahir di Tanah Papua, karena ada ketakutan Jakarta kepada MRP sebagai lembaga super body yang merupakan perwujudkan kelembagaan dari gerakan kebangkitan nasionalisme Papua. MRP dipandang juga sebagai simbol perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia di Papua karena dengan membentuk MRP sama saja dengan membentuk Negara dalam Negara.
Kecurigaan Jakarta yang cukup besar terhadap lembaga kultural ini, yang membuat MRP kehilangan power sama sekali dalam trias politik kekuasaan model sistem politik lokal Papua.
Tapi lepas dari hal kegiatan evaluasi UU Otsus tahun 2013 ini jangan sampai dimaksudkan untuk memberikan dasar konstitusional kepada lahirnya UU Otsus Plus atau Undang-Undang Pemerintahan Papua.
Menurutnya, jika tujuannya Otsus Plus/Pemerintahan Papua untuk memberikan dasar hukum yang kuat terhadap UU Otsus Plus, dirinya berpikir bahwa MRP sudah terseret kedalam kepentingan politik dan ekonomi pemerintahan pusat.
“Evaluasi Otsus kalau boleh tidak dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap proses legislasi UU Otsus plus, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban UU Otsus Papua kepada rakyat Papua, dan harus meminta pendapat umum rakyat Papua terhadap kelangsungan UU Otsus Papua ini,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Selasa, (23/07/2013).
Dijelaskannya, secara hukum internasional, tidak ada salahnya kalau diakhir dari evaluasi UU Otsus ini, MRP mengusulkan kepada DPRP untuk menggelar referendum terhadap UU Otsus. Karena DPRP memiliki hak konstitusi untuk melaksanakan referendum terhadap UU Otsus.
Dari hasil referendum itulah DPRP akan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah pusat melalui DPR RI. Pasalnya, jika dilihat hasil referendum akan memberikan gambaran kepada pemerintah pusat apa sesungguhnya yang orang Papua inginkan atau harapkan tentang UU Otsus Papua dimaksud. Bahwa apakah akan terus dilaksanakan atau harus diganti dengan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua atau pendapat masyarakat Papua tentang pilihan politik yang lain.
Untuk itu, dirinya mendorong dan menghimbau kepada MRP untuk mempertimbangkan akhir dari evaluasi Otsus ini, karena lembaga kultural ini harus melakukan dua langkah penting. Pertama, mengusulkan digelarnya referendum di Tanah Papua terhadap UU Otsus Papua. Kedua, merekomendasikan hasil evaluasi Otsus ini menjadi agenda utama dalam dialog damai Papua dengan Jakarta yang sedang dipersiapkan oleh Jaringan Damai Papua dalam menghentikan dan menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.
“Dialog damai ini belum disetujui Jakarta karena kecurigaan terhadap agenda dialog. Saya pikir melalui hasl evaluasi Otsus ini bisa dijadikan salah satu agenda utama dalam dialog damai,” pungkasnya. [BintangPapua]
Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat, Yakobus Dumupa menyatakan, sebagian peserta sudah berdatangan dan dipastikan seluruh perwakilan sesuai undangan menyatakan diri hadir, termasuk 14 narasumber yang akan hadir dan menyampaikan penilaian mereka terhadap implementasi Otsus Papua dalam 14 bidang.
Yakobus Dumupa menegaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan MRP ini tak terkait ideologi tertentu. Evaluasi Otsus ini juga tidak ada urusannya dengan kelompok ideologi tertentu, seperti kelompok Bintang Kejora (BK) atau merah putih.
Menurut dia, kita harus melihat evaluasi Otsus perspektif Orang Asli Papua ini dalam konteks kita sebagai orang Papua, bukan kita sebagai orang yang punya ideologi tertentu, tidak demikian. Karena itu, selaku Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat MRP ini menghimbau kepada semua masyarakat Papua untuk dapat melihat evaluasi yang akan dilaksanakan ini sebagai evaluasi dari kita sebagai orang Papua tanpa peduli ideologi apapun.” Jangan evaluasi ini dikaitkan dengan Ideologi tertentu”, tegasnya.
Sementara itu Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, rencana evaluasi Otsus Papua oleh MRP pada 25-27 Juli 2013 sesuai ketentuan UU Otsus, namun hal itu sangat disayangkan, karena setelah 12 tahun baru dilaksanakan ketentuan pasal 78 UU Otsus Papua dimaksud.
Diakuinya, memang MRP terlambat lahir di Tanah Papua, karena ada ketakutan Jakarta kepada MRP sebagai lembaga super body yang merupakan perwujudkan kelembagaan dari gerakan kebangkitan nasionalisme Papua. MRP dipandang juga sebagai simbol perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia di Papua karena dengan membentuk MRP sama saja dengan membentuk Negara dalam Negara.
Kecurigaan Jakarta yang cukup besar terhadap lembaga kultural ini, yang membuat MRP kehilangan power sama sekali dalam trias politik kekuasaan model sistem politik lokal Papua.
Tapi lepas dari hal kegiatan evaluasi UU Otsus tahun 2013 ini jangan sampai dimaksudkan untuk memberikan dasar konstitusional kepada lahirnya UU Otsus Plus atau Undang-Undang Pemerintahan Papua.
Menurutnya, jika tujuannya Otsus Plus/Pemerintahan Papua untuk memberikan dasar hukum yang kuat terhadap UU Otsus Plus, dirinya berpikir bahwa MRP sudah terseret kedalam kepentingan politik dan ekonomi pemerintahan pusat.
“Evaluasi Otsus kalau boleh tidak dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap proses legislasi UU Otsus plus, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban UU Otsus Papua kepada rakyat Papua, dan harus meminta pendapat umum rakyat Papua terhadap kelangsungan UU Otsus Papua ini,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Selasa, (23/07/2013).
Dijelaskannya, secara hukum internasional, tidak ada salahnya kalau diakhir dari evaluasi UU Otsus ini, MRP mengusulkan kepada DPRP untuk menggelar referendum terhadap UU Otsus. Karena DPRP memiliki hak konstitusi untuk melaksanakan referendum terhadap UU Otsus.
Dari hasil referendum itulah DPRP akan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah pusat melalui DPR RI. Pasalnya, jika dilihat hasil referendum akan memberikan gambaran kepada pemerintah pusat apa sesungguhnya yang orang Papua inginkan atau harapkan tentang UU Otsus Papua dimaksud. Bahwa apakah akan terus dilaksanakan atau harus diganti dengan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua atau pendapat masyarakat Papua tentang pilihan politik yang lain.
Untuk itu, dirinya mendorong dan menghimbau kepada MRP untuk mempertimbangkan akhir dari evaluasi Otsus ini, karena lembaga kultural ini harus melakukan dua langkah penting. Pertama, mengusulkan digelarnya referendum di Tanah Papua terhadap UU Otsus Papua. Kedua, merekomendasikan hasil evaluasi Otsus ini menjadi agenda utama dalam dialog damai Papua dengan Jakarta yang sedang dipersiapkan oleh Jaringan Damai Papua dalam menghentikan dan menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.
“Dialog damai ini belum disetujui Jakarta karena kecurigaan terhadap agenda dialog. Saya pikir melalui hasl evaluasi Otsus ini bisa dijadikan salah satu agenda utama dalam dialog damai,” pungkasnya. [BintangPapua]