Pembatasan Berekspresi dan Kekerasan Jurnalis di Papua Dipertanyakan Komite Kemanusiaan Internasional
pada tanggal
Friday, 12 July 2013
KOTA JAYAPURA – Review Komite HAM PBB terhadap laporan pertama pelaksanaan konvensi sipil politik di Indonesia menuai beberapa pertanyaan, termasuk soal pembatasan kebebasan berekspresi, kekerasan terhadap jurnalis dan tahanan politik.
“Komite International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) mempertanyakan situasi pembatasan berekspresi di Papua dan kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Papua.” kata Indria Ferdinanda, aktivis HAM Indonesia yang menghadiri Review ICCPR di Genewa tersebut, kepada Jubi, Kamis (11/07/2013).
Menurut Indri, belakangan ini langkah-langkah yang diambil untuk menjamin kebebasan berekspresi di Papua dan Papua Barat mengalami kemunduran dan tidak efektif. “Pelanggaran hak rakyat Papua untuk kebebasan berekspresi meningkat sejak 2013,” katanya.
Mengenai pertanyaan tentang Papua yang disampaikan oleh Komite ICCPR, Indri mengatakan jawaban pemerintah Indonesia terkesan normatif saja.
“Jawaban pemerintan normatif dengan legal reform yang tidak tuntas. Tidak berdasarkan realita, berkesan pencitraan.” kata Indria.
Victor Mambor, Ketua AJI Papua mengatakan persoalan kebebebasan pers di Papua saat ini juga semakin mundur. Bukan saja persoalan kekerasan terhadap jurnalis yang menjadi masalah saat ini, tapi ada indikasi sensor terhadap pemberitaan media massa di Papua.
“Pemeriksaan terhadap Majalah Pelita Papua kemarin, itu salah satu indikasinya. Juga waktu aparat Brimob Polda Papua masuk ke Kantor Redaksi Papua Pos. Bukankah itu indikasi adanya sensorship terhadap media massa?” tanya Mambor.
Lanjut Mambor, terkait kebebasan berekspres, Kepolisian juga tidak bisa sewenang-wenang menterjemahkan hukum sekehendak mereka. Misalnya, menginterpretasikan soal pemberian ijin dalam sebuah unjuk rasa.
“Undang-undang mewajibkan pemberian Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) kepada massa yang mengajukan pemberitahuan. Tapi kemudian, Kepolisian Daerah Papua menterjemahkan STTP itu sebagai ijin yang bisa diberikan atau ditolak. Polisi seakan berhak memberikan ijin atau tidak untuk berunjuk rasa. Padahal tidak ada secuilpun tentang ijin berunjuk rasa dalam UU No. 9 tahun 1998 tentang Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum itu. Hukum itu, milik bersama. Bukan milik satu pihak saja sehingga bisa diterjemahkan sekehendaknya.” kata Mambor. [TabloidJubi| PortalKBR ]
“Komite International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) mempertanyakan situasi pembatasan berekspresi di Papua dan kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Papua.” kata Indria Ferdinanda, aktivis HAM Indonesia yang menghadiri Review ICCPR di Genewa tersebut, kepada Jubi, Kamis (11/07/2013).
Menurut Indri, belakangan ini langkah-langkah yang diambil untuk menjamin kebebasan berekspresi di Papua dan Papua Barat mengalami kemunduran dan tidak efektif. “Pelanggaran hak rakyat Papua untuk kebebasan berekspresi meningkat sejak 2013,” katanya.
Mengenai pertanyaan tentang Papua yang disampaikan oleh Komite ICCPR, Indri mengatakan jawaban pemerintah Indonesia terkesan normatif saja.
“Jawaban pemerintan normatif dengan legal reform yang tidak tuntas. Tidak berdasarkan realita, berkesan pencitraan.” kata Indria.
Victor Mambor, Ketua AJI Papua mengatakan persoalan kebebebasan pers di Papua saat ini juga semakin mundur. Bukan saja persoalan kekerasan terhadap jurnalis yang menjadi masalah saat ini, tapi ada indikasi sensor terhadap pemberitaan media massa di Papua.
“Pemeriksaan terhadap Majalah Pelita Papua kemarin, itu salah satu indikasinya. Juga waktu aparat Brimob Polda Papua masuk ke Kantor Redaksi Papua Pos. Bukankah itu indikasi adanya sensorship terhadap media massa?” tanya Mambor.
Lanjut Mambor, terkait kebebasan berekspres, Kepolisian juga tidak bisa sewenang-wenang menterjemahkan hukum sekehendak mereka. Misalnya, menginterpretasikan soal pemberian ijin dalam sebuah unjuk rasa.
“Undang-undang mewajibkan pemberian Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) kepada massa yang mengajukan pemberitahuan. Tapi kemudian, Kepolisian Daerah Papua menterjemahkan STTP itu sebagai ijin yang bisa diberikan atau ditolak. Polisi seakan berhak memberikan ijin atau tidak untuk berunjuk rasa. Padahal tidak ada secuilpun tentang ijin berunjuk rasa dalam UU No. 9 tahun 1998 tentang Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum itu. Hukum itu, milik bersama. Bukan milik satu pihak saja sehingga bisa diterjemahkan sekehendaknya.” kata Mambor. [TabloidJubi| PortalKBR ]