Pastor Itzo Duka Melayani Masyarakat Bogia Berbekal Kemampuan Ber-tok pisin
pada tanggal
Wednesday, 24 July 2013
BOGIA (MADANG) - Medan misi di Papua Nugini yang berat membutuhkan orang yang bisa menyetir dengan lincah. Keahlian ini dibutuhkan untuk menerobos hutan, gunung, dan lumpur untuk sampai ke umat di pedalaman.
"Fader Itzo!..Fader Itzo!". Begitulah teriakan anak-anak yang hangat menyapa Pastor Itzo Duka SVD, asal Solor NTT ini. Sang pastor yang penuh jambang dan gondrong ini hanya menyapa anak-anak dengan, "hoiiii!", sambil membunyikan klakson mobil dan terus melaju seraya melambaikan tangan.
Hampir sepanjang perjalanan, nama pastor muda inilah yang paling sering diteriaki. Semua orang muda mengenalnya sebagai pribadi yang santai, ramah, dan periang. Banyak anak muda terkagum-kagum pada gaya hidup imam muda ini. "Kami heran, pastor ini begitu semangat dalam melayani. Kami bisa berolahraga bersama, bermain, dan memancing. Ini sungguh luar biasa," ungkap Junior, pengurus mudika di Paroki Bogia, Provinsi Madang.
Hal yang sama juga dituturkan sekelompok anak muda di gedung olahraga paroki. "Kami senang dengan Pastor Itzo. Dia akrab dengan siapa saja dan tidak sungkan mengunjungi rumah kami, maket (pasar), bahkan menginap di rumah umat," tegas mereka dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.
Sederhana, akrab dan ramah, tegas dan cuek. Begitulah kesimpulan umat jika ditanya mengenai sosok Pastor Itzo. Kemampuannya ber-tok pisin (bahasa campuran Inggris dan bahasa lokal), menjadi modal utama pelayanannya secara mengena.
"Memang medan misi di sini sangat berat, tapi kita harus melayani dengan gembira... karena hanya ini yang bisa kita bagikan." Hal ini disampaikan Pastor Itzo dalam pertemuan dengan para Dewan Gereja. Ia membuktikan sharing ini ketika kami berkunjung ke Paroki Igom, lebih kurang delapan jam perjalanan dengan mobil, melewati medan yang sungguh sangat parah. Sepanjang jalan hanya menemui hutan, kubangan lumpur, perbukitan, jurang, dan menyusuri puncakpuncak pegunungan.
Bagi Pastor Itzo, menjadi misionaris tidaklah mudah. Mungkin orang lebih melihat sisi 'luar negerinya' ketimbang pelayanan yang harus diberikan. Banyak waktu, perasaan, dan terkurasnya tenaga pelayanan. Belum lagi bagaimana membangun semangat bertahan di tengah suatu komunitas bangsa yang beda budaya dan bahasa. "Terkadang kami menjadi sorotan dan kritikan dari segenap umat," tuturnya.
Sambutan hangat
Berdasarkan pengamatan, perkembangan dan hidup menggereja di tanah misi Papua Nugini cukup baik. Perhatian umat terhadap perkembangan Gereja sangat tinggi. Lucas dari Dimer Outstasion, stasi kecil di luar Kota Madang menuturkan, jika seorang tamu beragama Katolik bertandang ke rumah umat, maka akan mendapat sambutan sangat antusias.
Pastor Francis Dewantoro MSF, misionaris dari Indonesia, mengungkapkan, kepedulian umat terhadap hidup menggereja boleh dikatakan positif. "Umat cukup memberi dukungan yang besar bagi kehidupan seminari dan keuskupan. Cukup banyak sumbangan yang datang dari umat," tutur pastor yang bekerja di Keuskupan Vanimo ini.
Sebagai contoh, sepanjang Perayaan Ekaristi, kolekte di Katedral Vanimo berkisar K 300-500 (1 kina sekitar Rp 3.500). "Partisipasi umat di stasi saat kolekte lebih kurang K 200, selebihnya berupa bahan makanan," demikian informasi dari romo asli Semarang ini.
Uskup Vanimo, Mgr Bonivento Cisare PIME, mendukung keterangan di atas. Menurutnya, dalam doa-doa, termasuk doa novena dan Misa pagi atau sore, cukup banyak umat yang terlibat. "Peran para misionaris sebagai team work di daerah misi ini sangat penting," tegasnya.
Mgr Bonivento menambahkan, kebutuhan untuk membangun semangat kerjasama di keuskupannya merupakan kekuatan besar agar Gereja bisa terus melangkah maju di tanah ini.
Papua Nugini adalah suatu daratan yang sangat luas. Negara tetangga ini berdampingan dengan West Papua (sebutan mereka untuk Papua bagian barat, Indonesia). Wilayahnya yang cukup luas ini terdiri dari berberapa provinsi, seperti Sandaun, East Sepik, Madang, Manus, New Ireland, Bougainville, East New Britain, West New Britain, Marobe, Milne Bay, Central, Oro, Gulf, Western Highland, Southern Highland, Eastern Highland, dan Simbu.
Uniknya, masing-masing provinsi memiliki bendera sendiri, di samping bendera negara. Selain bahasa Inggris, bahasa persatuan yang digunakan adalah bahasa Pidgin, yang berakar dari bahasa Inggris.
Orang muda
Kegiatan orang muda Katolik yang dikenal dengan nama Youth, terus dikembangkan dan mendapat dukungan dari orangtua. Orang muda di Papua Nugini ingin bekerjasama dengan umat Katolik di Indonesia. "Tetapi, kami tidak bisa berbahasa Indonesia," demikian Mary Rotsanama, seorang aktivis perempuan di Keuskupan Vanimo, mengungkapkan masalahnya.
Ia berharap, ada kunjungan antara orang muda Keuskupan Vanimo dengan Keuskupan Jayapura, supaya bisa saling belajar satu sama lain. Persoalan lain diungkapkan Pastor Itzo. Yakni, sistem pendidikan di PNG cukup berat bagi banyak anak muda. Dengan sistem kelas yang unik, maka pada level tertentu diadakan seleksi untuk melanjutkan pendidikan. Jika tidak lolos, maka secara otomatis ia dikeluarkan dan tidak bisa melanjutkan pendidikan lagi. Proses ini akan terjadi 2-3 kali, hingga lolos ke universitas.
Petra Lucas, siswi SMA di Provinsi Madang, menjelaskan, orangtuanya harus membayar K 5.000 –K 7.000 untuk jenjang SMA per semester. "Jika pada level elementary tinggal bersama orangtua, maka di high school kami tinggal di asrama," tuturnya. Beberapa asrama dikelola oleh para biarawati. Umumnya asrama itu berdekatan dengan sekolah.
Jacqline Rotsanama yang mengikuti program diploma di Kota Wewak, mengungkapkan hal yang sama. Ia mengatakan, banyak orang muda berpikir untuk studi ke Indonesia, karena mereka tahu banyak universitas bermutu dan murah. "Hanya kendalanya bahasa," ujarnya.
Menurut Pastor Itzo, banyak orang tidak bersekolah, atau minimal hanya tamat level sekolah dasar, karena faktor ekonomi. Tidak heran jika perkawinan dini banyak terjadi. "Banyak anak muda di sini telah berkeluarga, sehingga kami mesti pintar-pintar mengatur strategi untuk berkumpul bersama dan merancang pola pastoral yang tepat bagi mereka," tandasnya. [HidupKatolik| HidupKatolik]
"Fader Itzo!..Fader Itzo!". Begitulah teriakan anak-anak yang hangat menyapa Pastor Itzo Duka SVD, asal Solor NTT ini. Sang pastor yang penuh jambang dan gondrong ini hanya menyapa anak-anak dengan, "hoiiii!", sambil membunyikan klakson mobil dan terus melaju seraya melambaikan tangan.
Hampir sepanjang perjalanan, nama pastor muda inilah yang paling sering diteriaki. Semua orang muda mengenalnya sebagai pribadi yang santai, ramah, dan periang. Banyak anak muda terkagum-kagum pada gaya hidup imam muda ini. "Kami heran, pastor ini begitu semangat dalam melayani. Kami bisa berolahraga bersama, bermain, dan memancing. Ini sungguh luar biasa," ungkap Junior, pengurus mudika di Paroki Bogia, Provinsi Madang.
Hal yang sama juga dituturkan sekelompok anak muda di gedung olahraga paroki. "Kami senang dengan Pastor Itzo. Dia akrab dengan siapa saja dan tidak sungkan mengunjungi rumah kami, maket (pasar), bahkan menginap di rumah umat," tegas mereka dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.
Sederhana, akrab dan ramah, tegas dan cuek. Begitulah kesimpulan umat jika ditanya mengenai sosok Pastor Itzo. Kemampuannya ber-tok pisin (bahasa campuran Inggris dan bahasa lokal), menjadi modal utama pelayanannya secara mengena.
"Memang medan misi di sini sangat berat, tapi kita harus melayani dengan gembira... karena hanya ini yang bisa kita bagikan." Hal ini disampaikan Pastor Itzo dalam pertemuan dengan para Dewan Gereja. Ia membuktikan sharing ini ketika kami berkunjung ke Paroki Igom, lebih kurang delapan jam perjalanan dengan mobil, melewati medan yang sungguh sangat parah. Sepanjang jalan hanya menemui hutan, kubangan lumpur, perbukitan, jurang, dan menyusuri puncakpuncak pegunungan.
Bagi Pastor Itzo, menjadi misionaris tidaklah mudah. Mungkin orang lebih melihat sisi 'luar negerinya' ketimbang pelayanan yang harus diberikan. Banyak waktu, perasaan, dan terkurasnya tenaga pelayanan. Belum lagi bagaimana membangun semangat bertahan di tengah suatu komunitas bangsa yang beda budaya dan bahasa. "Terkadang kami menjadi sorotan dan kritikan dari segenap umat," tuturnya.
Sambutan hangat
Berdasarkan pengamatan, perkembangan dan hidup menggereja di tanah misi Papua Nugini cukup baik. Perhatian umat terhadap perkembangan Gereja sangat tinggi. Lucas dari Dimer Outstasion, stasi kecil di luar Kota Madang menuturkan, jika seorang tamu beragama Katolik bertandang ke rumah umat, maka akan mendapat sambutan sangat antusias.
Pastor Francis Dewantoro MSF, misionaris dari Indonesia, mengungkapkan, kepedulian umat terhadap hidup menggereja boleh dikatakan positif. "Umat cukup memberi dukungan yang besar bagi kehidupan seminari dan keuskupan. Cukup banyak sumbangan yang datang dari umat," tutur pastor yang bekerja di Keuskupan Vanimo ini.
Sebagai contoh, sepanjang Perayaan Ekaristi, kolekte di Katedral Vanimo berkisar K 300-500 (1 kina sekitar Rp 3.500). "Partisipasi umat di stasi saat kolekte lebih kurang K 200, selebihnya berupa bahan makanan," demikian informasi dari romo asli Semarang ini.
Uskup Vanimo, Mgr Bonivento Cisare PIME, mendukung keterangan di atas. Menurutnya, dalam doa-doa, termasuk doa novena dan Misa pagi atau sore, cukup banyak umat yang terlibat. "Peran para misionaris sebagai team work di daerah misi ini sangat penting," tegasnya.
Mgr Bonivento menambahkan, kebutuhan untuk membangun semangat kerjasama di keuskupannya merupakan kekuatan besar agar Gereja bisa terus melangkah maju di tanah ini.
Papua Nugini adalah suatu daratan yang sangat luas. Negara tetangga ini berdampingan dengan West Papua (sebutan mereka untuk Papua bagian barat, Indonesia). Wilayahnya yang cukup luas ini terdiri dari berberapa provinsi, seperti Sandaun, East Sepik, Madang, Manus, New Ireland, Bougainville, East New Britain, West New Britain, Marobe, Milne Bay, Central, Oro, Gulf, Western Highland, Southern Highland, Eastern Highland, dan Simbu.
Uniknya, masing-masing provinsi memiliki bendera sendiri, di samping bendera negara. Selain bahasa Inggris, bahasa persatuan yang digunakan adalah bahasa Pidgin, yang berakar dari bahasa Inggris.
Orang muda
Kegiatan orang muda Katolik yang dikenal dengan nama Youth, terus dikembangkan dan mendapat dukungan dari orangtua. Orang muda di Papua Nugini ingin bekerjasama dengan umat Katolik di Indonesia. "Tetapi, kami tidak bisa berbahasa Indonesia," demikian Mary Rotsanama, seorang aktivis perempuan di Keuskupan Vanimo, mengungkapkan masalahnya.
Ia berharap, ada kunjungan antara orang muda Keuskupan Vanimo dengan Keuskupan Jayapura, supaya bisa saling belajar satu sama lain. Persoalan lain diungkapkan Pastor Itzo. Yakni, sistem pendidikan di PNG cukup berat bagi banyak anak muda. Dengan sistem kelas yang unik, maka pada level tertentu diadakan seleksi untuk melanjutkan pendidikan. Jika tidak lolos, maka secara otomatis ia dikeluarkan dan tidak bisa melanjutkan pendidikan lagi. Proses ini akan terjadi 2-3 kali, hingga lolos ke universitas.
Petra Lucas, siswi SMA di Provinsi Madang, menjelaskan, orangtuanya harus membayar K 5.000 –K 7.000 untuk jenjang SMA per semester. "Jika pada level elementary tinggal bersama orangtua, maka di high school kami tinggal di asrama," tuturnya. Beberapa asrama dikelola oleh para biarawati. Umumnya asrama itu berdekatan dengan sekolah.
Jacqline Rotsanama yang mengikuti program diploma di Kota Wewak, mengungkapkan hal yang sama. Ia mengatakan, banyak orang muda berpikir untuk studi ke Indonesia, karena mereka tahu banyak universitas bermutu dan murah. "Hanya kendalanya bahasa," ujarnya.
Menurut Pastor Itzo, banyak orang tidak bersekolah, atau minimal hanya tamat level sekolah dasar, karena faktor ekonomi. Tidak heran jika perkawinan dini banyak terjadi. "Banyak anak muda di sini telah berkeluarga, sehingga kami mesti pintar-pintar mengatur strategi untuk berkumpul bersama dan merancang pola pastoral yang tepat bagi mereka," tandasnya. [HidupKatolik| HidupKatolik]