Noken Bauzi dari Mamberamo Raya Perlu Dilindungi dan Dilestarikan
pada tanggal
Friday, 19 July 2013
KOTA JAYAPURA - Peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Jayapura, Provinsi Papua, Hari Suroto mengatakan noken atau tas rajutan dari suku Bauzi di Kabupaten Mamberamo Raya perlu dilindungi dan dilestarikan.
"Noken dari suku Bauzi atau Baudi yang terbuat dari kulit kayu atau serat melinjo (genemo,red) yang dirajut oleh kaum perempuan memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Papua," kata Hari Suroto di Jayapura, Papua, Kamis.
Dalam proses pembuatan noken, kata Hari, kulit kayu melinjo dipukul-pukul menggunakan kayu. Kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, lalu dipintal dan dirajut menggunakan jarum yang terbuat dari tulang kuskus atau tulang burung kasuari.
"Noken Suku Bauzi ini memiliki keunikan yaitu dalam satu kantung terdapat dua ruang. Keunikan ini tidak terdapat pada noken suku Papua lainnya," katanya.
Hari merincikan, untuk ruang noken yang berukuran besar berfungsi untuk mengangkut hasil kebun atau hasil meramu di hutan-hutan Mamberamo Raya yang lebih dikenal dengan sungainya yang besar. Sedangkan ruang noken yang berukuran kecil berfungsi untuk menyimpan benda berharga.
"Jadi, yang saya lihat saat lakukan penelitian di Kasonaweja, Mamberamo Raya. Suku Bauzi yang ada disana memakai noken yang agak beda dengan suku Papua lainnya karena memiliki dua ruang atau tempat didalam satu noken," katanya.
Dan saat ini tradisi pembuatan dan penggunaan noken hanya terdapat pada Suku Bauzi yang tinggal di pedalaman Mamberamo Raya, sedangkan Suku Bauzi di ibu kota kabupaten Kasonaweja lebih menyukai tas modern yang dijual di toko. Demikian juga anak muda dan siswa Suku Bauzi yang tinggal di kota mulai meninggalkan noken dan beralih ke tas modern.
"Hanya satu atau dua orang yang bisa terlihat memakai noken. Suku Bauzi lainnya dan anak kecil lebih suka memakai tas modern dan itu yang saya lihat di Kasonaweja," katanya.
Noken bagi Suku Bauzi adalah identitas dan jati diri, sehingga noken harus dilestarikan.
Oleh karena itu, menurut alumnus Universitas Udayana Bali itu, agar ada langkah-langkah yang bijak dari pemerintah setempat.
"Seperti membuat regulasi agar noken tetap dilindungi, bisa dengan mewajibkan siswa sekolah untuk memakai noken atau noken dijadikan sebagai muatan lokal kurikulum sekolah," katanya.
Dan diakuinya noken sebagai warisan dunia oleh UNESCO, Hari berharap pemerintah daerah dan masyarakat Papua harus bisa melestarikan noken dalam kehidupan sehari-hari, sehingga noken tetap ada sampai generasi Papua yang akan datang artinya noken tidak hilang dari Papua.
"Noken sudah diakui oleh Unesco. Jadi sudah seharusnya dan selayaknya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah setempat dan pemerintah Papua," katanya mengusulkan. [PapuaPos| PapuaAdventures]
"Noken dari suku Bauzi atau Baudi yang terbuat dari kulit kayu atau serat melinjo (genemo,red) yang dirajut oleh kaum perempuan memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Papua," kata Hari Suroto di Jayapura, Papua, Kamis.
Dalam proses pembuatan noken, kata Hari, kulit kayu melinjo dipukul-pukul menggunakan kayu. Kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, lalu dipintal dan dirajut menggunakan jarum yang terbuat dari tulang kuskus atau tulang burung kasuari.
"Noken Suku Bauzi ini memiliki keunikan yaitu dalam satu kantung terdapat dua ruang. Keunikan ini tidak terdapat pada noken suku Papua lainnya," katanya.
Hari merincikan, untuk ruang noken yang berukuran besar berfungsi untuk mengangkut hasil kebun atau hasil meramu di hutan-hutan Mamberamo Raya yang lebih dikenal dengan sungainya yang besar. Sedangkan ruang noken yang berukuran kecil berfungsi untuk menyimpan benda berharga.
"Jadi, yang saya lihat saat lakukan penelitian di Kasonaweja, Mamberamo Raya. Suku Bauzi yang ada disana memakai noken yang agak beda dengan suku Papua lainnya karena memiliki dua ruang atau tempat didalam satu noken," katanya.
Dan saat ini tradisi pembuatan dan penggunaan noken hanya terdapat pada Suku Bauzi yang tinggal di pedalaman Mamberamo Raya, sedangkan Suku Bauzi di ibu kota kabupaten Kasonaweja lebih menyukai tas modern yang dijual di toko. Demikian juga anak muda dan siswa Suku Bauzi yang tinggal di kota mulai meninggalkan noken dan beralih ke tas modern.
"Hanya satu atau dua orang yang bisa terlihat memakai noken. Suku Bauzi lainnya dan anak kecil lebih suka memakai tas modern dan itu yang saya lihat di Kasonaweja," katanya.
Noken bagi Suku Bauzi adalah identitas dan jati diri, sehingga noken harus dilestarikan.
Oleh karena itu, menurut alumnus Universitas Udayana Bali itu, agar ada langkah-langkah yang bijak dari pemerintah setempat.
"Seperti membuat regulasi agar noken tetap dilindungi, bisa dengan mewajibkan siswa sekolah untuk memakai noken atau noken dijadikan sebagai muatan lokal kurikulum sekolah," katanya.
Dan diakuinya noken sebagai warisan dunia oleh UNESCO, Hari berharap pemerintah daerah dan masyarakat Papua harus bisa melestarikan noken dalam kehidupan sehari-hari, sehingga noken tetap ada sampai generasi Papua yang akan datang artinya noken tidak hilang dari Papua.
"Noken sudah diakui oleh Unesco. Jadi sudah seharusnya dan selayaknya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah setempat dan pemerintah Papua," katanya mengusulkan. [PapuaPos| PapuaAdventures]