Kebebasan Berekspresi di Papua Masih Terpendam dan Penuh Stigma
pada tanggal
Monday, 29 July 2013
KOTA JAYAPURA – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyatakan kebebasan berekspresi di Papua masih terpendam. Pemerintah juga masih menilai civil society di Papua belum siap.
Anggota Komisi I DPR RI, Yorrys Raweyai mengatakan, kekhawatiran pemerintah pusat bahwa civil society di Papua belum siap dialog dinilai salah. Sejak dulu civil society di Papua sudah siap. Sepanjang masih ada pendekatan stigma-stigma separatis dan OPM berlaku maka agak susah masalah Papua diselesaikan. “Memang trauma. Kalau kita di Jakarta kan bebas. Tetapi, kebebasan berekspresi di Papua masih terpendam sekali,” Yorrys usai berbuka puasa bersama LSM dan insan pers di Kantor Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) di Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura, Minggu (28/07/2013) malam.
Menurutnya, hal ini yang sedang berproses. “Saya, pikir kan ini bukan wacana baru. Ini sudah lama berproses dari dulu dan banyak orang sudah menjadi korban,” ujarnya. Lebih lanjut ia mengatakan, bagaimana kekuatan stecholder society di Papua yang mampu melakukan dan punya kebersamaan untuk bisa melakukan penolakan. Karena, penolakan secara sistem susah di bicarakan.
“MRP kalau sudah setuju tinggal DPRP lagi, apa yang susah,” Civil Society di Papua harus mampu untuk melakukan edukasi seperti yang saat ini dilakukan oleh JDP (Jaringan Damai Papua) camon groun untuk bagaimana mendorong dialog. Dan terutama kembali ke steckholder di Papua terutama civil society itu sendiri.
Sementara itu, Agustina Basik Basik anggota komisi II DPR RI mengatakan, penyelasaian masalah Papua harus menjadi perhatian bersama. Salah satu solusi terbaik adalah melalui jalan dialog. Dengan duduk bersama, satu persatu masalah Papua dibicarakan dan diselesaikan. [TabloidJubi]
Anggota Komisi I DPR RI, Yorrys Raweyai mengatakan, kekhawatiran pemerintah pusat bahwa civil society di Papua belum siap dialog dinilai salah. Sejak dulu civil society di Papua sudah siap. Sepanjang masih ada pendekatan stigma-stigma separatis dan OPM berlaku maka agak susah masalah Papua diselesaikan. “Memang trauma. Kalau kita di Jakarta kan bebas. Tetapi, kebebasan berekspresi di Papua masih terpendam sekali,” Yorrys usai berbuka puasa bersama LSM dan insan pers di Kantor Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) di Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura, Minggu (28/07/2013) malam.
Menurutnya, hal ini yang sedang berproses. “Saya, pikir kan ini bukan wacana baru. Ini sudah lama berproses dari dulu dan banyak orang sudah menjadi korban,” ujarnya. Lebih lanjut ia mengatakan, bagaimana kekuatan stecholder society di Papua yang mampu melakukan dan punya kebersamaan untuk bisa melakukan penolakan. Karena, penolakan secara sistem susah di bicarakan.
“MRP kalau sudah setuju tinggal DPRP lagi, apa yang susah,” Civil Society di Papua harus mampu untuk melakukan edukasi seperti yang saat ini dilakukan oleh JDP (Jaringan Damai Papua) camon groun untuk bagaimana mendorong dialog. Dan terutama kembali ke steckholder di Papua terutama civil society itu sendiri.
Sementara itu, Agustina Basik Basik anggota komisi II DPR RI mengatakan, penyelasaian masalah Papua harus menjadi perhatian bersama. Salah satu solusi terbaik adalah melalui jalan dialog. Dengan duduk bersama, satu persatu masalah Papua dibicarakan dan diselesaikan. [TabloidJubi]