Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) : Provinsi Papua Barat Paling Korup se-Indonesia
pada tanggal
Saturday, 6 July 2013
JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis lima provinsi yang terindikasi sebagai daerah terkorup dalam pelaksanaan belanja modal untuk fasilitas umum.
Dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Minggu, Koordinator Advokasi Fitra Maulana menyebutkan bahwa kelima provinsi itu adalah Papua Barat (10 kasus) dengan kerugian negara sekitar Rp86,7 miliar, Kalimantan Timur (dua kasus) dengan kerugian negara sekitar Rp29,6 miliar, Kalimantan Selatan (delapan kasus) senilai Rp10,8 miliar, Aceh (18 kasus) dengan kerugian Rp7,8 miliar dan Maluku Utara (28 kasus) dengan kerugian Rp5,7 miliar.
Modus yang paling banyak digunakan dalam ketidakpatuhan pengelolaan anggaran yang berindikasi pada kerugian keuangan daerah itu diantaranya adalah pengadaan fiktif, "mark up", rekanan yang tidak menyelesaikan pekerjaan, belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan serta spesifikasi barang diterima tidak sesuai kontrak.
Maulana juga menilai ada ketidakberesan dalam penyelenggaraan lelang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan daerah. Misalnya, mulai dari kekurangan volume pekerjaan, kontrak yang tidak sesuai (dengan pekerjaan), pemberian jaminan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan prosedur dan denda keterlambatan pekerjaan yang belum ditagih atau disetor ke kas negara/daerah.
Lembaga itu juga menilai penetapan rekanan pelaksana pengadaan barang dan jasa tidak dilaksanakan dengan proses seleksi yang baik. Pemerintah daerah dinilai lebih mengedepankan penyerapan anggaran tanpa mempertimbangkan kualitas hasil pekerjaan pengadaan barang dan jasa.
Padahal, belanja modal fasilitas umum itu dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah, puskesmas, jembatan, rumah sakit, jalan dan irigasi.
Akibatnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian keuangan di daerah sebesar Rp726,4 miliar dalam laporan hasil pemeriksaan semester II 2012.
Fitra merekomendasikan agar Kementerian Keuangan membatasi dana transfer ke daerah dalam bentuk belanja modal fasilitas umum untuk daerah-daerah yang terbukti melakukan penyimpangan anggaran. Lembaga itu juga mendesak pemerintah mengevaluasi pejabat pengadaan barang dan jasa serta kuasa pengguna anggaran yang tidak becus menyeleksi rekanan pekerjaan dalam proyek tersebut.
Dalam rilis yang sama, lembaga itu juga melansir lima kota yang diduga terkorup dalam pembelanjaan anggaran belanja modal untuk kepentingan fasilitas umum.
Kelima kota tersebut adalah Kota Tebing Tinggi (16 kasus) dengan total kerugiaan Rp4,9 miliar, Ambon (13 kasus) dengan kerugian negara Rp2,4 miliar, Denpasar (delapan kasus) dengan kerugian Rp2,1 miliar, Bukit Tinggi (empat kasus) dengan kerugiaan Rp2,1 miliar, dan Prabumulih (enam kasus) dengan total kerugian Rp2 miliar.
Selain itu, ada lima kabupaten yang terindikasikan terkorup dalam belanja modal untuk fasilitas umum.
Lima kabupaten itu adalah Kabupaten Nduga (delapan kasus) dengan kerugian Rp89,4 miliar, Kabupaten Kepulauan Sula (40 kasus) dengan kerugian Rp55 miliar, Kabupaten Wajo (lima kasus) dengan kerugiaan Rp25,5 miliar, Kabupaten Berau (20 kasus) dengan nilai kerugian Rp18,7 miliar dan Kabupaten Kapuas (tiga kasus) dengan kerugian Rp15,8 miliar. [Antara]
Dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Minggu, Koordinator Advokasi Fitra Maulana menyebutkan bahwa kelima provinsi itu adalah Papua Barat (10 kasus) dengan kerugian negara sekitar Rp86,7 miliar, Kalimantan Timur (dua kasus) dengan kerugian negara sekitar Rp29,6 miliar, Kalimantan Selatan (delapan kasus) senilai Rp10,8 miliar, Aceh (18 kasus) dengan kerugian Rp7,8 miliar dan Maluku Utara (28 kasus) dengan kerugian Rp5,7 miliar.
Modus yang paling banyak digunakan dalam ketidakpatuhan pengelolaan anggaran yang berindikasi pada kerugian keuangan daerah itu diantaranya adalah pengadaan fiktif, "mark up", rekanan yang tidak menyelesaikan pekerjaan, belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan serta spesifikasi barang diterima tidak sesuai kontrak.
Maulana juga menilai ada ketidakberesan dalam penyelenggaraan lelang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan daerah. Misalnya, mulai dari kekurangan volume pekerjaan, kontrak yang tidak sesuai (dengan pekerjaan), pemberian jaminan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan prosedur dan denda keterlambatan pekerjaan yang belum ditagih atau disetor ke kas negara/daerah.
Lembaga itu juga menilai penetapan rekanan pelaksana pengadaan barang dan jasa tidak dilaksanakan dengan proses seleksi yang baik. Pemerintah daerah dinilai lebih mengedepankan penyerapan anggaran tanpa mempertimbangkan kualitas hasil pekerjaan pengadaan barang dan jasa.
Padahal, belanja modal fasilitas umum itu dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah, puskesmas, jembatan, rumah sakit, jalan dan irigasi.
Akibatnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian keuangan di daerah sebesar Rp726,4 miliar dalam laporan hasil pemeriksaan semester II 2012.
Fitra merekomendasikan agar Kementerian Keuangan membatasi dana transfer ke daerah dalam bentuk belanja modal fasilitas umum untuk daerah-daerah yang terbukti melakukan penyimpangan anggaran. Lembaga itu juga mendesak pemerintah mengevaluasi pejabat pengadaan barang dan jasa serta kuasa pengguna anggaran yang tidak becus menyeleksi rekanan pekerjaan dalam proyek tersebut.
Dalam rilis yang sama, lembaga itu juga melansir lima kota yang diduga terkorup dalam pembelanjaan anggaran belanja modal untuk kepentingan fasilitas umum.
Kelima kota tersebut adalah Kota Tebing Tinggi (16 kasus) dengan total kerugiaan Rp4,9 miliar, Ambon (13 kasus) dengan kerugian negara Rp2,4 miliar, Denpasar (delapan kasus) dengan kerugian Rp2,1 miliar, Bukit Tinggi (empat kasus) dengan kerugiaan Rp2,1 miliar, dan Prabumulih (enam kasus) dengan total kerugian Rp2 miliar.
Selain itu, ada lima kabupaten yang terindikasikan terkorup dalam belanja modal untuk fasilitas umum.
Lima kabupaten itu adalah Kabupaten Nduga (delapan kasus) dengan kerugian Rp89,4 miliar, Kabupaten Kepulauan Sula (40 kasus) dengan kerugian Rp55 miliar, Kabupaten Wajo (lima kasus) dengan kerugiaan Rp25,5 miliar, Kabupaten Berau (20 kasus) dengan nilai kerugian Rp18,7 miliar dan Kabupaten Kapuas (tiga kasus) dengan kerugian Rp15,8 miliar. [Antara]