Dewan Pers Nilai Pelarangan Majalah Pelita Papua Melanggar Hukum
pada tanggal
Wednesday, 10 July 2013
JAKARTA - Pelarangan terbit majalah Pelita Papua yang dilakukan kepolisian Papua dinilai Dewan Pers adalah salah satu bentuk pembreidelan. "Kalau betul polisi datang dan melarang distribusi informasi, hal itu adalah pembreidelan," kata Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers saat dihubungi Tempo, Ahad 7 Juli 2013.
Menurut Imam, sesuai Pasal 1 Angka 9 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pembreidelan adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Tindakan itu kini dilarang oleh hukum Indonesia. "Semua orang harus taat pada undang-undang ini, termasuk polisi."
Kebebasan pers, lanjut Imam, saat ini sudah jelas diatur oleh undang-undang. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan hal ini merujuk langsung pada Undang Undang Dasar.
"Pada dasarnya jika tidak setuju dengan isi penerbitan itu, polisi bisa mengadu kepada Dewan Pers," katanya. Imam menyayangkan tindakan polisi yang langsung mendatangi kantor pencetakan dan melarang peredaran majalah itu.
Pada Rabu 3 Juli 2013, majalah Pelita Papua yang baru akan memasuki terbitan perdana di Jayapura, diperiksa kepolisian karena memuat simbol Papua Merdeka. Polisi mendatangi kantor percetakan di Jayapura dan kemudian meminta Majalah tersebut jangan diedarkan. Petugas juga mengambil majalah dan membawanya ke Kantor Polisi untuk dipelajari.
"Katanya dipelajari, saya bilang sama mereka, jangan asal melarang, ada hukum yang harus dipatuhi, pers dilindungi oleh Undang-Undang, bukan caranya polisi menyerbu begitu saja," kata Fidelis Jeminta, Pimpinan Redaksi Majalah Pelita Papua di Jayapura, Rabu 3 Juli 2013.
Majalah dengan sampul bergambar Bintang Kejora itu terbit 64 halaman sebanyak 2.000 eksemplar. "Kami tidak menyangka akan diperiksa polisi, bagi saya, tidak masalah polisi memanggil saya, namun yang menjengkelkan adalah, polisi tanpa pemberitahuan ke saya, langsung ke percetakan dan melarang terbit," kata Fidelis.
Isi majalah lebih mengulas masalah pendirian Kantor OPM di Inggris beberapa waktu lalu. Ada pula materi pendapat para tokoh soal gerakan Papua Merdeka. Menurut Fidelis, pemberitaan ini adalah hal biasa, tidak ada yang besar. Dia menyesalkan tindakan polisi yang asal melarang.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Polisi I Gede Sumerta Jaya mengatakan pemuatan materi tentang kemerdekaan Papua, atau yang bersifat menghasut, tentu akan dilarang edar. "Pasti dilarang kalau isinya tentang Kemerdekaan Papua," kata I Gede.
Menurut dia, tak ada usaha untuk membreidel Majalah Pelita Papua. Itu hanya pemeriksaan. "Dilihat isinya, apakah penghasutan atau bukan, saya kira pers tidak ditekan," katanya. [Tempo]
Menurut Imam, sesuai Pasal 1 Angka 9 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pembreidelan adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Tindakan itu kini dilarang oleh hukum Indonesia. "Semua orang harus taat pada undang-undang ini, termasuk polisi."
Kebebasan pers, lanjut Imam, saat ini sudah jelas diatur oleh undang-undang. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan hal ini merujuk langsung pada Undang Undang Dasar.
"Pada dasarnya jika tidak setuju dengan isi penerbitan itu, polisi bisa mengadu kepada Dewan Pers," katanya. Imam menyayangkan tindakan polisi yang langsung mendatangi kantor pencetakan dan melarang peredaran majalah itu.
Pada Rabu 3 Juli 2013, majalah Pelita Papua yang baru akan memasuki terbitan perdana di Jayapura, diperiksa kepolisian karena memuat simbol Papua Merdeka. Polisi mendatangi kantor percetakan di Jayapura dan kemudian meminta Majalah tersebut jangan diedarkan. Petugas juga mengambil majalah dan membawanya ke Kantor Polisi untuk dipelajari.
"Katanya dipelajari, saya bilang sama mereka, jangan asal melarang, ada hukum yang harus dipatuhi, pers dilindungi oleh Undang-Undang, bukan caranya polisi menyerbu begitu saja," kata Fidelis Jeminta, Pimpinan Redaksi Majalah Pelita Papua di Jayapura, Rabu 3 Juli 2013.
Majalah dengan sampul bergambar Bintang Kejora itu terbit 64 halaman sebanyak 2.000 eksemplar. "Kami tidak menyangka akan diperiksa polisi, bagi saya, tidak masalah polisi memanggil saya, namun yang menjengkelkan adalah, polisi tanpa pemberitahuan ke saya, langsung ke percetakan dan melarang terbit," kata Fidelis.
Isi majalah lebih mengulas masalah pendirian Kantor OPM di Inggris beberapa waktu lalu. Ada pula materi pendapat para tokoh soal gerakan Papua Merdeka. Menurut Fidelis, pemberitaan ini adalah hal biasa, tidak ada yang besar. Dia menyesalkan tindakan polisi yang asal melarang.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Polisi I Gede Sumerta Jaya mengatakan pemuatan materi tentang kemerdekaan Papua, atau yang bersifat menghasut, tentu akan dilarang edar. "Pasti dilarang kalau isinya tentang Kemerdekaan Papua," kata I Gede.
Menurut dia, tak ada usaha untuk membreidel Majalah Pelita Papua. Itu hanya pemeriksaan. "Dilihat isinya, apakah penghasutan atau bukan, saya kira pers tidak ditekan," katanya. [Tempo]