Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua Minta Pemprov Hapus Penggunaan Agama Sebagai Pengekang Kebebasan Pers
pada tanggal
Sunday, 28 July 2013
KOTA JAYAPURA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua meminta Pemerintah Provinsi Papua menghapus pasal tentang penggunaan agama sebagai alat pembenaran pemerintah untuk menetapkan ketentuan di Bidang Pers dan Penyiaran.
Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor menuturkan pihaknya juga menolak segala bentuk intervensi yang bertujuan untuk mengekang kebebasan pers dalam bentuk apa pun, termasuk campur tangan pihak pemerintah. Desakan ini menyusul adanya penjabaran dalam salah satu pasal di dalam draft UU Pemerintahan Papua yang nantinya akan menggantikan UU Otsus Papua.
“Ya itu menolak tegas segala bentuk intervensi yang bertujuan untuk mengekang, menghambat kebebasan pers. Karena itu hanya diatur oleh UU Pers, UU Pokok Pers no 40 tahun 99,” jelasnya.
Draft didalam salah satu pasal itu menyebutkan bahwa Pemerintah Papua mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di Bidang Pers dan Penyiaran Berdasarkan Nilai Islam.
AJI Kota jayapura menduga draft UU Pemerintahan Papua, yang masih dibahas pemda dan Majelis Rakyat Papua, disusun tanpa lewat kajian yang transparan dan melibatkan masyarakat luas. [PortalKBR]
Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor menuturkan pihaknya juga menolak segala bentuk intervensi yang bertujuan untuk mengekang kebebasan pers dalam bentuk apa pun, termasuk campur tangan pihak pemerintah. Desakan ini menyusul adanya penjabaran dalam salah satu pasal di dalam draft UU Pemerintahan Papua yang nantinya akan menggantikan UU Otsus Papua.
“Ya itu menolak tegas segala bentuk intervensi yang bertujuan untuk mengekang, menghambat kebebasan pers. Karena itu hanya diatur oleh UU Pers, UU Pokok Pers no 40 tahun 99,” jelasnya.
Draft didalam salah satu pasal itu menyebutkan bahwa Pemerintah Papua mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di Bidang Pers dan Penyiaran Berdasarkan Nilai Islam.
AJI Kota jayapura menduga draft UU Pemerintahan Papua, yang masih dibahas pemda dan Majelis Rakyat Papua, disusun tanpa lewat kajian yang transparan dan melibatkan masyarakat luas. [PortalKBR]