Sungai Parai, Nadi Kehidupan Warga Kota Biak
pada tanggal
Wednesday, 1 May 2013
BIAK (BIAKNUMFOR) - Warga Kota Biak mungkin sudah biasa dengan kalimat Kak Boi, teman baru kami di Pulau Biak, itu. Tapi kami, Tim Unyu Penyu – Papua 1, akhirnya tergoda dan mencelupkan kaki, membasuh muka di sungai yang terletak sepuluh menit bekendara dari Pantai Bosnik itu. Sungainya memang tak terlalu jernih, tapi, kesejukan airnya tak pernah gagal menggoda pengunjung untuk minimal sekedar membasuh kulit bersama puluhan warga yang asyik mencuci baju.
Sungai Parai mengalir keluar dari sebuah gua persis di bawah sebuah tebing karang setinggi tigapuluh meter. Lokasi mata air yang terletak persis di pinggir jalan raya Parai, sekitar 20 menit dari Kota Biak, bikin lokasi wisata ini jadi tempat yang pas untuk menyejukkan diri selepas bermain di pantai.
Tidak ada biaya masuk memang, tapi siap-siap berganti baju di balik pohon besar di sekeliling mata air, atau, ketuk saja pintu rumah-rumah penduduk di sekitar untuk pinjam tempat berganti baju. Terada (tidak ada) yang perlu dibayar alias gratis. Donasi bisa diberikan ke penjaga mata air.
Terlepas keindahannya, menurut Kak Boi, mata air Sungai Parai adalah salah satu mata air terbesar, yang bisa diminum oleh warga Pulau Biak. Pulau tandus ini memang miskin air tawar. Kondisi geologis pulau yang berkarang bikin air jadi sulit terkumpul di bawah tanah, satu-satunya cara mendapat air tawar adalah, dengan memompa hingga puluhan meter.
Perusahaan air minum di Kota Biakpun memasang instalasi air minum persis di samping mata air ini. Dari sini air dibawa ke sekeliling pulau, menyuplai kebutuhan warga Pulau Biak.
Saat berkunjung pertengahan Oktober 2010, udara Pulau Biak sedang panas-panasnya. Jam di tangan sempat mencatat suhu 35 derajat, konon, udara seperti ini tandanya akan turun hujan malam harinya. Sayang, hujan memang tidak jadi turun sepanjang hari, tapi sejuknya air Sungai Parai sudah lebih dari cukup mendinginkan kulit.
Saya tidak yakin kulit gelap saya akan lebih terang setelah ‘nyemplung’ di Sungai Parai, tapi, mengunjungi tempat ini nampaknya bukan saja kami rekomendasikan. Mata air di Sungai Parai perlu dikunjungi untuk membilas kulit, mengusir panas setelah seharian keasyikan bermain di pantai-pantai timur Pulau Biak. [Endrocdn| Endrocdn]
Sungai Parai mengalir keluar dari sebuah gua persis di bawah sebuah tebing karang setinggi tigapuluh meter. Lokasi mata air yang terletak persis di pinggir jalan raya Parai, sekitar 20 menit dari Kota Biak, bikin lokasi wisata ini jadi tempat yang pas untuk menyejukkan diri selepas bermain di pantai.
Tidak ada biaya masuk memang, tapi siap-siap berganti baju di balik pohon besar di sekeliling mata air, atau, ketuk saja pintu rumah-rumah penduduk di sekitar untuk pinjam tempat berganti baju. Terada (tidak ada) yang perlu dibayar alias gratis. Donasi bisa diberikan ke penjaga mata air.
Terlepas keindahannya, menurut Kak Boi, mata air Sungai Parai adalah salah satu mata air terbesar, yang bisa diminum oleh warga Pulau Biak. Pulau tandus ini memang miskin air tawar. Kondisi geologis pulau yang berkarang bikin air jadi sulit terkumpul di bawah tanah, satu-satunya cara mendapat air tawar adalah, dengan memompa hingga puluhan meter.
Perusahaan air minum di Kota Biakpun memasang instalasi air minum persis di samping mata air ini. Dari sini air dibawa ke sekeliling pulau, menyuplai kebutuhan warga Pulau Biak.
Saat berkunjung pertengahan Oktober 2010, udara Pulau Biak sedang panas-panasnya. Jam di tangan sempat mencatat suhu 35 derajat, konon, udara seperti ini tandanya akan turun hujan malam harinya. Sayang, hujan memang tidak jadi turun sepanjang hari, tapi sejuknya air Sungai Parai sudah lebih dari cukup mendinginkan kulit.
Saya tidak yakin kulit gelap saya akan lebih terang setelah ‘nyemplung’ di Sungai Parai, tapi, mengunjungi tempat ini nampaknya bukan saja kami rekomendasikan. Mata air di Sungai Parai perlu dikunjungi untuk membilas kulit, mengusir panas setelah seharian keasyikan bermain di pantai-pantai timur Pulau Biak. [Endrocdn| Endrocdn]