Pepes Ulat Sagu ala Kampung Kaugapu
pada tanggal
Wednesday, 10 April 2013
TIMIKA (MIMIKA) - Jika biasanya pepes berbahan dasar ayam atau ikan, maka berbeda di Kampung Kaugapu, Timika, Papua. Masyarakat Suku Kamoro di sana membuat pepes dari ulat dan tepung sagu. Rasanya pun tidak kalah enak!
Mengunjungi Suku Kamoro yang tinggal di muara-muara sungai di selatan Timika tidak lengkap tanpa mencicipi kuliner khas mereka. Beberapa kuliner khas dari Suku Kamoro, bisa membuat orang yang tidak biasa dengan kuliner unik akan mengernyitkan dahi. Salah satunya adalah ulat sagu.
Di tangan perempuan Kamoro, ulat ini diolah menjadi santapan dengan cita rasa yang tinggi. Ulat sagu dapat dengan mudah ditemukan pada batang-batang pohon sagu yang telah dipangkur. Oleh para perempuan Kamoro, hewan gemuk berwarna kuning dengan kepala berwarna coklat kemerahan ini akan dikumpulkan dan dibawa pulang untuk disajikan kepada seluruh keluarga.
Di suatu siang di Desa Kaugapu, Mama Felicia seorang perempuan Kamoro menghidangkan saya santapan ulat sagu andalannya. Di atas selembar daun, dia memasukkan tepung sagu yang telah diberi sedikit air. Kemudian beberapa ekor ulat yang telah dicabuti kepalanya turut dimasukkan ke dalam lembaran daun sagu.
buat pepes sagu.png"Sa pu suami suka kalau banyak sagunya," sambil berkelakar dia menjelaskan mengapa dia kembali menaburkan tepung sagu hingga memenuhi seluruh ruang di atas lembaran daun kecil ini.
Jemarinya yang cekatan seakan tidak menua bersama dengan usianya, dengan lincah dilipatnya lembaran-lembaran daun sagu. Pepes ulat yang telah siap kemudian dipanggang di atas bara api hingga kulit daun menghitam dan mengelupas.
Saya segera mengambil sebuah pepes ulat yang mengepulkan asap panas, melepas lembaran daun pembungkusnya dan menikmati sensasi gigitan pertama dari pepes teraneh yang pernah saya cicipi. Lidah saya mengecap sebuah rasa baru, pepes ulat ini membuat saya teringat pada rasa ubi manis bedanya rasa ulat yang sedikit asam membuatnya segar saat digigit.
Tekstur sagu yang kenyal berpadu dengan gurihnya ulat yang telah dibakar. Proses pembakaran rupanya telah mengurangi kekenyalan dari kulit ulat dan membuatnya renyah saat digigit. Di tambah lagi sagu yang kaya akan karbohidrat dan ulat yang kaya akan protein serta proses pembakaran yang bebas minyak membuat santapan ini sehat dan bergizi.
Mama Felicia kemudian menawari saya sebuah cemilan yang sekali lagi membuat saya mengernyitkan dahi. Di atas sebatang ruas sagu, tampak beberapa ekor ulat yang gemuk ditusukkan menyerupai sate. Warna kulitnya yang kuning kecoklatan menandakan ulat-ulat ini baru saja dibakar. Kali ini tanpa pikir panjang saya langsung menyantap hidangan cemilan ala Suku Kamoro itu. Rasanya tidak kalah lezatnya! [DetikTravel]
Mengunjungi Suku Kamoro yang tinggal di muara-muara sungai di selatan Timika tidak lengkap tanpa mencicipi kuliner khas mereka. Beberapa kuliner khas dari Suku Kamoro, bisa membuat orang yang tidak biasa dengan kuliner unik akan mengernyitkan dahi. Salah satunya adalah ulat sagu.
Di tangan perempuan Kamoro, ulat ini diolah menjadi santapan dengan cita rasa yang tinggi. Ulat sagu dapat dengan mudah ditemukan pada batang-batang pohon sagu yang telah dipangkur. Oleh para perempuan Kamoro, hewan gemuk berwarna kuning dengan kepala berwarna coklat kemerahan ini akan dikumpulkan dan dibawa pulang untuk disajikan kepada seluruh keluarga.
Di suatu siang di Desa Kaugapu, Mama Felicia seorang perempuan Kamoro menghidangkan saya santapan ulat sagu andalannya. Di atas selembar daun, dia memasukkan tepung sagu yang telah diberi sedikit air. Kemudian beberapa ekor ulat yang telah dicabuti kepalanya turut dimasukkan ke dalam lembaran daun sagu.
buat pepes sagu.png"Sa pu suami suka kalau banyak sagunya," sambil berkelakar dia menjelaskan mengapa dia kembali menaburkan tepung sagu hingga memenuhi seluruh ruang di atas lembaran daun kecil ini.
Jemarinya yang cekatan seakan tidak menua bersama dengan usianya, dengan lincah dilipatnya lembaran-lembaran daun sagu. Pepes ulat yang telah siap kemudian dipanggang di atas bara api hingga kulit daun menghitam dan mengelupas.
Saya segera mengambil sebuah pepes ulat yang mengepulkan asap panas, melepas lembaran daun pembungkusnya dan menikmati sensasi gigitan pertama dari pepes teraneh yang pernah saya cicipi. Lidah saya mengecap sebuah rasa baru, pepes ulat ini membuat saya teringat pada rasa ubi manis bedanya rasa ulat yang sedikit asam membuatnya segar saat digigit.
Tekstur sagu yang kenyal berpadu dengan gurihnya ulat yang telah dibakar. Proses pembakaran rupanya telah mengurangi kekenyalan dari kulit ulat dan membuatnya renyah saat digigit. Di tambah lagi sagu yang kaya akan karbohidrat dan ulat yang kaya akan protein serta proses pembakaran yang bebas minyak membuat santapan ini sehat dan bergizi.
Mama Felicia kemudian menawari saya sebuah cemilan yang sekali lagi membuat saya mengernyitkan dahi. Di atas sebatang ruas sagu, tampak beberapa ekor ulat yang gemuk ditusukkan menyerupai sate. Warna kulitnya yang kuning kecoklatan menandakan ulat-ulat ini baru saja dibakar. Kali ini tanpa pikir panjang saya langsung menyantap hidangan cemilan ala Suku Kamoro itu. Rasanya tidak kalah lezatnya! [DetikTravel]