Pakaian Tradisional Pria Suku Yali, Mulai Terlupakan
pada tanggal
Sunday, 14 April 2013
Koteka yang dipadukan dengan lingkaran-lingkaran rotan kemudian dililitkan ke bagian tubuh itu terbuat dari buah labu panjang yang isinya dikosongkan lantas dijemur di atas perapian, katanya menjelaskan.
Setelah kering, lanjut Hari, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut.
Ia lantas menjelaskan latar belakang pria Yali yang mengenakan lingkaran-lingkaran rotan di bagian perut atau badan, yakni sebagai tanda tingkat keberanian seorang pria suku tersebut.
“Jadi, semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu,” katanya.
Karena, menurut Hari, rotan hanya tumbuh di luar daerah Yali atau orang setempat biasa mengatakan bahwa rotan tumbuh hanya di daerah musuh dan hanya dapat diperoleh dengan menempuh risiko bahaya yang relatif tinggi.
Lebih lanjut, alumnus Universitas Udayana itu mengatakan bahwa lingkaran rotan dan koteka yang digunakan bukan hanya sebagai pakaian dan perhiasan, melainkan juga punya kegunaan lain, seperti membuat api.
“Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api,” katanya.
Ia lantas menjelaskan cara membuat api, yakni mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira rotan yang diambil sekitar 60 sentimeter. Lalu, dililitkan di sepotong kayu yang telah diletakan di atas tanah yang dikelilingi dengan rumput dan dahan-dahan kering.
Kemudian, kedua kaki mereka injakan di kedua ujung kayu. Selanjutnya, tangan mereka menarik tali rotan itu dengan cepat ke sana-kemari atau digesek-gesekan sampai kayu panas dan mengeluarkan asap dan mulai menyala dengan api dan ujung tali putus terbakar.
“Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar,” katanya.
Pada saat ini, kata dia, pakaian tradisional suku Yali mulai ditinggalkan. Pakaian tradisional suku Yali terbatas digunakan oleh generasi tua, sedangkan generasi mudanya lebih suka menggunakan pakaian modern yang berbahan kain.
“Pakaian tradisional suku Yali hingga saat ini belum terdokumentasi dengan baik. Museum di Papua maupun di Jakarta belum ada yang mengoleksi pakaian itu,” katanya.
Hari memandang perlu penelitian yang lebih mendalam, pendokumentasian yang lengkap, baik itu dalam bentuk video, foto, maupun buku, sebelum pakaian tradisional itu punah.
Selain itu, lanjut dia, perlu pelestarian pakaian tradisional suku Yali, yaitu dengan cara menggunakannya dalam festival budaya maupun pada hari-hari besar nasional. [BisnisKTI]