Sagu, Tanaman Pangan yang Tahan Perubahan Lingkungan
pada tanggal
Monday, 7 November 2011
JAYAPURA — Sagu termasuk salah satu tanaman sumber pangan yang tahan terhadap perubahan iklim dan hama. Sehingga tanaman pangan yang menjadi makanan asli masyarakat Papua ini, perlu dilindungi semua pihak.
“Saya melihat sagu termasuk tanaman pangan yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan, berbeda dengan tanaman sumber pangan lain yang sangat rentan,” kata Lindon Pangkali, salah satu pemerhati lingkungan hidup Papua, yang juga mantan Koordinator Forest Watch Region Papua kepad ya berpasir dan berlumpur, akan membuat tepung sagu kotor. Karena itu biasa kalau kitong mau ramas sagu, cari air yang bersih dan bukan di kali atau sungai kecil, yang airnya bergerak tapi air yang tenang,” katanya.
Dia menambahkan, sekarang ini kalau mau pangkur sagu sudah sulit karena kali atau sungai kecil sudah tak jernih seperti dulu lagi.
Para pakar menyebutkan sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu jenis keanekaragaman hayati tumbuhan asli Asia Tenggara, yang tumbuh secara alami di dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah.
Sedangkan Indonesia termasuk negara yang memiliki luasan hampir 50 persen dari sagu dunia dan 85 persen, diantaranya terdapat di Papua yang tersebar di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan beberapa daerah yang belum terinventarisasi.
Para pakar telah mengindentfikasi sebanyak 51 jenis sagu di Papua dengan berbagai keragaman kualitas telah teridentifikasi. Keragaman itu merupakan sumber plasma nutfah yang harus dilestarikan karena berpotensi sebagai sumber daya genetik yang dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman sagu di masa mendatang untuk mendapatkan varietas-varietas unggul.
Selain sagu, berbagai jenis pohon kayu-kayuan seperti kayu hitam (Diospyros sp.), matoa (Pometia pinnata), terentang (Campnosperma sp.) dan jenis-jenis tanaman pioneer tumbuh di hutan sagu. (Tabloid Jubi)
“Saya melihat sagu termasuk tanaman pangan yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan, berbeda dengan tanaman sumber pangan lain yang sangat rentan,” kata Lindon Pangkali, salah satu pemerhati lingkungan hidup Papua, yang juga mantan Koordinator Forest Watch Region Papua kepad ya berpasir dan berlumpur, akan membuat tepung sagu kotor. Karena itu biasa kalau kitong mau ramas sagu, cari air yang bersih dan bukan di kali atau sungai kecil, yang airnya bergerak tapi air yang tenang,” katanya.
Dia menambahkan, sekarang ini kalau mau pangkur sagu sudah sulit karena kali atau sungai kecil sudah tak jernih seperti dulu lagi.
Para pakar menyebutkan sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu jenis keanekaragaman hayati tumbuhan asli Asia Tenggara, yang tumbuh secara alami di dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah.
Sedangkan Indonesia termasuk negara yang memiliki luasan hampir 50 persen dari sagu dunia dan 85 persen, diantaranya terdapat di Papua yang tersebar di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan beberapa daerah yang belum terinventarisasi.
Para pakar telah mengindentfikasi sebanyak 51 jenis sagu di Papua dengan berbagai keragaman kualitas telah teridentifikasi. Keragaman itu merupakan sumber plasma nutfah yang harus dilestarikan karena berpotensi sebagai sumber daya genetik yang dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman sagu di masa mendatang untuk mendapatkan varietas-varietas unggul.
Selain sagu, berbagai jenis pohon kayu-kayuan seperti kayu hitam (Diospyros sp.), matoa (Pometia pinnata), terentang (Campnosperma sp.) dan jenis-jenis tanaman pioneer tumbuh di hutan sagu. (Tabloid Jubi)