'Si Putih' Tebar Pesona di Teluk Flaminggo
pada tanggal
Monday, 7 November 2011
AGATS (ASMAT) — Setiap menyinggahi Kota Agats, Kabupaten Asmat, ‘si putih’ itu selalu menjadi pusat perhatian. Ia selalu tebar pesona bagi setiap yang memandangnya, bak tokoh papan atas. Biasanya ‘si putih’ tiga kali ia memberi kode yang beralun sama. ‘Si putih’ memberikan kode pertama dari jauh, warga mulai meninggalkan rumah. Kode kedua, ‘si putih’ mendekat, warga kota saling berebutan melewati jalan utama yang lebarnya sekitar dua meter menuju Teluk Flaminggo. Kode ketiga, ‘si putih’ berhenti, warga pun berebutan menjumpai ‘si putih’ yang ’tergeletak’ di Muara Kali Asuwetsy (baca: Aswetj) Agats.
Ada yang menikmati keindahan ‘si putih’ dengan mendatangi langsung, namun tak sedikit pula yang menikmati kemolekan ‘si putih’ dari jauh. Kehadiran ‘si putih’ ini seakan membebaskan kepenatan Warga Kota Agats yang jauh dari tempat hiburan. Lebih lega lagi, ‘si putih’ ini tak hanya memamerkan tubuhnya di Teluk Flaminggo, tetapi ia juga membawa sejuta kebutuhan yang akan dinikmati Warga Kota Agats. Ada pakaian, sembako dan kebutuhan Warga Kota Agats lainnya. Lebih menariknya lagi, ia juga tak pernah absen membawa sayur-mayur dari berbagai daerah yang disinggahinya. Tidak mengherankan, kepada ‘si putih’ ini orang menyebutnya Toserba alias Toko Serba Ada yang memanjakan Warga Agats.
Itulah sekelumit cerita ketika KM. Kelimutu dan KM. Tatamailau ketika bersandar di Muara Kali Aswetsj Agats. Kehadiran kapal penumpang tersebut, selain mengantar dan menjemput penumpang di Agats, juga dijadikan tempat rekreasi sesaat oleh warga. Betapa tidak, Kota Asmat yang berada di tengah belantara, tentu haus dengan berbagai sarana hiburan. Bagi Orang Asmat, maupun Orang Papua, sebutan Kapal Putih untuk Kapal PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) masih erat hubungannya masa Pemerintahan Kerajaan Belanda di Papua. Kisah asal-usul nama kapal putih masih diceritakan lebih dominan oleh generasi yang hidup awal 1960-an. Bagi warga, sejumlah kisah kapal putih itu tak dapat dilupakan. Seperti yang dikisahkan kembali oleh Paitua Salmon Kadam (79) di Agats. “Bagi kami, kapal putih bukan sekedar hiburan tetapi akan membawa kami ke masa lalu, di saat kami mengenal kapal putih,” katanya.
Salmon Kadam maupun generasi muda Papua angkatan 60-an tak bisa melupakan sejumlah pengalaman bersama kapal putih ketika melintasi Daratan Papua (dulu Netherland New Guinea -red). Meskipun, pemerintah Kerajaan Belanda ‘angkat kaki’ dari Netherland New Guinea ketika itu, sebutan kapal putih ternyata masih disebutkan hingga saat ini. Dan sebutan kapal putih saat ini ditujukan untuk Kapal Motor (KM) penumpang milik PT. PELNI yang melayani Papua. Tak mengherankan, apabila beberapa sesepuh duduk di pinggir Kali Asuwetsj, mereka kerap menceritakan seputar sejarah dan pengalaman melihat dan berlayar bersama kapal putih pada zaman Belanda.
Lain dulu lain sekarang. Kini, kapal putih milik PELNI yang singgah sesaat di Agats ini dimanfaatkan warga menjadi tempat rekreasi favorit. Pada Tahun 2009, misalnya. KM Tatamailau dan KM Kelimutu serta kapal-kapal barang yang berlabuh di muara Kali Asuwetsy ramai dikunjungi warga sekedar menikmati suasana yang berbeda. Tak canggung-canggung, warga mengeluarkan gocekan untuk sewa speedboat, longboat dan perahu dayung menuju kapal.
Ritme kehidupan warga ini terjadi hampir tiap kali kapal penumpang akan bersandar atau sebelum berlabuh. Warga di Kota Agats biasanya beramai-ramai mengunjungi kapal penumpang dengan berbagai tujuan dan kepentingan, termasuk berkunjung sekedar melepas lelah (hiburan). Maklum, Warga Agats rata-rata haus hiburan karena penat bekerja di rumah atau perkantoran selama berminggu-minggu hingga bulan dan tahun.
Melihat animo masyarakat yang berlebihan, pada Agustus 2009 pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Asmat mendesak pihak eksekutif untuk segera difungsikan dermaga sedang dibangun yang terletak di ujung Kampung Bis, tak jauh dari kota Agats. Sekarang, dermaga itu sudah dapat dipergunakan untuk kapal penumpang dan kapal barang, termasuk kapal para wisatawan yang ingin menyaksikan Kebudayaan Asmat.
Bagi Warga Asmat, kedatangan kapal putih memberikan inspirasi baru. Diakui Tokoh Masyarakat Adat Asmat, Izaak Arr. “Kapal-kapal putih ini banyak membawa hal baru bagi Orang Asmat,” katanya. Rute kapal penumpang dijadwalkan oleh PT PELNI yaitu dari Agats ke Kota Merauke, sebaliknya dari Agats ke Timika, Tual, Dobo dan Makassar. Selain kapal penumpang, sebutan kapal putih bagi Warga Asmat ditujukan untuk kapal pesiar warna putih milik wisatawan mancanegara yang biasa datang per triwulan. Kehadiran kapal orang bule tersebut juga menjadi pusat perhatian Orang Agats.
Salah satu warga pengunjung kapal turis, Natalis Mbicim, mengakui kagum dengan berbagai fasilitas mewah di atas kapal tersebut. Dari berbagai jenis Kapal Pesiar milik turis asing, salah satunya adalah kapal MV Clipper Odessy milik Warga Amerika Serikat. Bila dibandingkan kapal-kapal milik Indonesia, kapal pesiar milik Orang Amerika itu tampak bersih dan fasilitasnya serba mewah. Kapal itu juga berkecepatan tinggi dan dilengkapi sarana komunikasi satelit. Selain kapal pesiar milik turis asal Amerika, masih ada lagi kapal pesiar milik turis dari Jerman, Perancis dan negara Eropa lainnya. Tujuan kedatangan kapal dan para turis adalah melakukan perjalanan wisata ke beberapa obyek wisata Asmat, seperti Museum Kebudayaan Asmat (Keuskupan Agats), Rumah Bujang (Rumah Adat Jew), mengikuti ajang pesta budaya, atau pesta ritual tertentu.
JUBI mencatat, sekitar 30 hingga 70 unit perahu dayung khas Asmat biasanya dipergunakan dalam perarakan penyambutan para turis. Satu perahu memuat sekitar 10 orang. Ketika kapal berlabuh, kapal pesiar maupun para turis biasanya diperiksa pihak imigrasi dan Kantor Bea Cukai dari Kabupaten Merauke, bekerjasama dengan pihak kepolisian. Rata-rata para turis memiliki kelengkapan administrasi.
Secara geografis, memang alam Asmat sulit dijangkau dengan transportasi darat atau udara, kecuali menggunakan transportasi air. Hampir 80% lebih merupakan luasan air dengan ketinggian permukaan tanah 0-100 meter dpl. Kawasan rawa berlumpur tak bisa terhindar oleh pengaruh pasang-surut air laut. Medan sulit terjangkau, tetapi paling banyak dijelajahi oleh kapal kayu, kapal dagang milik pedagang Bugis, Buton, Makassar dan lainnya. Kapal pedagang rata-rata memasuki hingga kampung-kampung Wilayah Asmat secara berkala. Selain itu, kapal milik Pemda Asmat masih mempengaruhi tingkat mobilisasi masyarakat di pelosok Wilayah Aasmat. Mobilisasi warga juga terjadi dengan menggunakan perahu longboat, perahu dayung, speedboat dan perahu ketinting. (jubi)
Ada yang menikmati keindahan ‘si putih’ dengan mendatangi langsung, namun tak sedikit pula yang menikmati kemolekan ‘si putih’ dari jauh. Kehadiran ‘si putih’ ini seakan membebaskan kepenatan Warga Kota Agats yang jauh dari tempat hiburan. Lebih lega lagi, ‘si putih’ ini tak hanya memamerkan tubuhnya di Teluk Flaminggo, tetapi ia juga membawa sejuta kebutuhan yang akan dinikmati Warga Kota Agats. Ada pakaian, sembako dan kebutuhan Warga Kota Agats lainnya. Lebih menariknya lagi, ia juga tak pernah absen membawa sayur-mayur dari berbagai daerah yang disinggahinya. Tidak mengherankan, kepada ‘si putih’ ini orang menyebutnya Toserba alias Toko Serba Ada yang memanjakan Warga Agats.
Itulah sekelumit cerita ketika KM. Kelimutu dan KM. Tatamailau ketika bersandar di Muara Kali Aswetsj Agats. Kehadiran kapal penumpang tersebut, selain mengantar dan menjemput penumpang di Agats, juga dijadikan tempat rekreasi sesaat oleh warga. Betapa tidak, Kota Asmat yang berada di tengah belantara, tentu haus dengan berbagai sarana hiburan. Bagi Orang Asmat, maupun Orang Papua, sebutan Kapal Putih untuk Kapal PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) masih erat hubungannya masa Pemerintahan Kerajaan Belanda di Papua. Kisah asal-usul nama kapal putih masih diceritakan lebih dominan oleh generasi yang hidup awal 1960-an. Bagi warga, sejumlah kisah kapal putih itu tak dapat dilupakan. Seperti yang dikisahkan kembali oleh Paitua Salmon Kadam (79) di Agats. “Bagi kami, kapal putih bukan sekedar hiburan tetapi akan membawa kami ke masa lalu, di saat kami mengenal kapal putih,” katanya.
Salmon Kadam maupun generasi muda Papua angkatan 60-an tak bisa melupakan sejumlah pengalaman bersama kapal putih ketika melintasi Daratan Papua (dulu Netherland New Guinea -red). Meskipun, pemerintah Kerajaan Belanda ‘angkat kaki’ dari Netherland New Guinea ketika itu, sebutan kapal putih ternyata masih disebutkan hingga saat ini. Dan sebutan kapal putih saat ini ditujukan untuk Kapal Motor (KM) penumpang milik PT. PELNI yang melayani Papua. Tak mengherankan, apabila beberapa sesepuh duduk di pinggir Kali Asuwetsj, mereka kerap menceritakan seputar sejarah dan pengalaman melihat dan berlayar bersama kapal putih pada zaman Belanda.
Lain dulu lain sekarang. Kini, kapal putih milik PELNI yang singgah sesaat di Agats ini dimanfaatkan warga menjadi tempat rekreasi favorit. Pada Tahun 2009, misalnya. KM Tatamailau dan KM Kelimutu serta kapal-kapal barang yang berlabuh di muara Kali Asuwetsy ramai dikunjungi warga sekedar menikmati suasana yang berbeda. Tak canggung-canggung, warga mengeluarkan gocekan untuk sewa speedboat, longboat dan perahu dayung menuju kapal.
Ritme kehidupan warga ini terjadi hampir tiap kali kapal penumpang akan bersandar atau sebelum berlabuh. Warga di Kota Agats biasanya beramai-ramai mengunjungi kapal penumpang dengan berbagai tujuan dan kepentingan, termasuk berkunjung sekedar melepas lelah (hiburan). Maklum, Warga Agats rata-rata haus hiburan karena penat bekerja di rumah atau perkantoran selama berminggu-minggu hingga bulan dan tahun.
Melihat animo masyarakat yang berlebihan, pada Agustus 2009 pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Asmat mendesak pihak eksekutif untuk segera difungsikan dermaga sedang dibangun yang terletak di ujung Kampung Bis, tak jauh dari kota Agats. Sekarang, dermaga itu sudah dapat dipergunakan untuk kapal penumpang dan kapal barang, termasuk kapal para wisatawan yang ingin menyaksikan Kebudayaan Asmat.
Bagi Warga Asmat, kedatangan kapal putih memberikan inspirasi baru. Diakui Tokoh Masyarakat Adat Asmat, Izaak Arr. “Kapal-kapal putih ini banyak membawa hal baru bagi Orang Asmat,” katanya. Rute kapal penumpang dijadwalkan oleh PT PELNI yaitu dari Agats ke Kota Merauke, sebaliknya dari Agats ke Timika, Tual, Dobo dan Makassar. Selain kapal penumpang, sebutan kapal putih bagi Warga Asmat ditujukan untuk kapal pesiar warna putih milik wisatawan mancanegara yang biasa datang per triwulan. Kehadiran kapal orang bule tersebut juga menjadi pusat perhatian Orang Agats.
Salah satu warga pengunjung kapal turis, Natalis Mbicim, mengakui kagum dengan berbagai fasilitas mewah di atas kapal tersebut. Dari berbagai jenis Kapal Pesiar milik turis asing, salah satunya adalah kapal MV Clipper Odessy milik Warga Amerika Serikat. Bila dibandingkan kapal-kapal milik Indonesia, kapal pesiar milik Orang Amerika itu tampak bersih dan fasilitasnya serba mewah. Kapal itu juga berkecepatan tinggi dan dilengkapi sarana komunikasi satelit. Selain kapal pesiar milik turis asal Amerika, masih ada lagi kapal pesiar milik turis dari Jerman, Perancis dan negara Eropa lainnya. Tujuan kedatangan kapal dan para turis adalah melakukan perjalanan wisata ke beberapa obyek wisata Asmat, seperti Museum Kebudayaan Asmat (Keuskupan Agats), Rumah Bujang (Rumah Adat Jew), mengikuti ajang pesta budaya, atau pesta ritual tertentu.
JUBI mencatat, sekitar 30 hingga 70 unit perahu dayung khas Asmat biasanya dipergunakan dalam perarakan penyambutan para turis. Satu perahu memuat sekitar 10 orang. Ketika kapal berlabuh, kapal pesiar maupun para turis biasanya diperiksa pihak imigrasi dan Kantor Bea Cukai dari Kabupaten Merauke, bekerjasama dengan pihak kepolisian. Rata-rata para turis memiliki kelengkapan administrasi.
Secara geografis, memang alam Asmat sulit dijangkau dengan transportasi darat atau udara, kecuali menggunakan transportasi air. Hampir 80% lebih merupakan luasan air dengan ketinggian permukaan tanah 0-100 meter dpl. Kawasan rawa berlumpur tak bisa terhindar oleh pengaruh pasang-surut air laut. Medan sulit terjangkau, tetapi paling banyak dijelajahi oleh kapal kayu, kapal dagang milik pedagang Bugis, Buton, Makassar dan lainnya. Kapal pedagang rata-rata memasuki hingga kampung-kampung Wilayah Asmat secara berkala. Selain itu, kapal milik Pemda Asmat masih mempengaruhi tingkat mobilisasi masyarakat di pelosok Wilayah Aasmat. Mobilisasi warga juga terjadi dengan menggunakan perahu longboat, perahu dayung, speedboat dan perahu ketinting. (jubi)