MK Tolak Permohonan Willem Wandik dan Aloisius Giyai dalam Pilkada Papua Tengah
pada tanggal
Tuesday, 11 February 2025
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Provinsi Papua Tengah. Putusan Nomor 295/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang diajukan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah Nomor Urut 4, Willem Wandik dan Aloisius Giyai ini dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan, Rabu (5/2/2025).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi menyoroti keberlakuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal ambang batas selisih perolehan suara untuk mengajukan permohonan PHPU. Berdasarkan pasal tersebut, ambang batas selisih perolehan suara sebesar 2 persen atau setara 22.105 suara.
Akan tetapi, selisih perolehan suara antara Pemohon dengan peraih suara terbanyak (Pihak Terkait) sebesar 128.903 atau mencapai 11,7 persen. Dalam hal ini, Pemohon memperoleh 373.721 suara, sedangkan Pihak Terkait, yakni Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah Nomor Urut 3, Meki Nawipa dan Deinas Geley memperoleh 502.624 suara.
Dengan demikian, Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan PHPU Kada Papua Tengah 2024. “Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum,” jelas Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Keberlakuan Pasal 158 ini, menurut Majelis Hakim Konstitusi tidak dapat dikesampingkan, karena Pemohon tidak dapat meyakinkan dalil-dalil permohonannya. “Tidak terdapat alasan untuk menunda keberlakuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon,” kata Arsul Sani.
Adapun dalam permohonan yang dibacakan di persidangan sebelumnya, Pemohon mendalilkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan sistem noken. Di antara permasalahan, disebut Pemohon terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua Tengah, di mana Pemohon mengklaim bahwa suaranya dikurangi 48.375 suara dari 77.400 pada kesepakatan noken. Kemudian Pemohon juga mendalilkan adanya pelanggaran di Kabupaten Paniai, Papua Tengah berupa penetapan pleno di tingkat kabupaten sampai mengalami empat kali kegagalan dan dugaan suap hingga Rp 200 juta pada proses Pilgub Papua Tengah. Selain itu, Pemohon menyebut bahwa Termohon sengaja mengulur waktu pelaksanaan dengan modus untuk mengalihkan suara Paslon Nomor Urut 4 di Kabupaten Puncak Jaya. Pemohon juga menyebut adanya dugaan pemberian amplop terkait pengalihan suara tersebut.
Dengan dalil-dalil yang disampaikan, Pemohon dalam petitumnya meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Tengah Nomor 461 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2024. Pemohon juga meminta agar Pihak Terkait didiskualifikasi dan adanya pemungutan suara ulang di tiga kabupaten: Deiyai, Paniai, dan Puncak Jaya. (mkri)
Persidangan digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, dipimpin Ketua MK Suhartoyo beserta delapan Hakim Konstitusi lainnya.
“Mengadili, dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi menyoroti keberlakuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal ambang batas selisih perolehan suara untuk mengajukan permohonan PHPU. Berdasarkan pasal tersebut, ambang batas selisih perolehan suara sebesar 2 persen atau setara 22.105 suara.
Baca Juga
Akan tetapi, selisih perolehan suara antara Pemohon dengan peraih suara terbanyak (Pihak Terkait) sebesar 128.903 atau mencapai 11,7 persen. Dalam hal ini, Pemohon memperoleh 373.721 suara, sedangkan Pihak Terkait, yakni Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah Nomor Urut 3, Meki Nawipa dan Deinas Geley memperoleh 502.624 suara.
Dengan demikian, Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan PHPU Kada Papua Tengah 2024. “Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum,” jelas Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Keberlakuan Pasal 158 ini, menurut Majelis Hakim Konstitusi tidak dapat dikesampingkan, karena Pemohon tidak dapat meyakinkan dalil-dalil permohonannya. “Tidak terdapat alasan untuk menunda keberlakuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon,” kata Arsul Sani.
Adapun dalam permohonan yang dibacakan di persidangan sebelumnya, Pemohon mendalilkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan sistem noken. Di antara permasalahan, disebut Pemohon terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua Tengah, di mana Pemohon mengklaim bahwa suaranya dikurangi 48.375 suara dari 77.400 pada kesepakatan noken. Kemudian Pemohon juga mendalilkan adanya pelanggaran di Kabupaten Paniai, Papua Tengah berupa penetapan pleno di tingkat kabupaten sampai mengalami empat kali kegagalan dan dugaan suap hingga Rp 200 juta pada proses Pilgub Papua Tengah. Selain itu, Pemohon menyebut bahwa Termohon sengaja mengulur waktu pelaksanaan dengan modus untuk mengalihkan suara Paslon Nomor Urut 4 di Kabupaten Puncak Jaya. Pemohon juga menyebut adanya dugaan pemberian amplop terkait pengalihan suara tersebut.
Dengan dalil-dalil yang disampaikan, Pemohon dalam petitumnya meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Tengah Nomor 461 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2024. Pemohon juga meminta agar Pihak Terkait didiskualifikasi dan adanya pemungutan suara ulang di tiga kabupaten: Deiyai, Paniai, dan Puncak Jaya. (mkri)