Kapal Freedom Flotilla sampai di Ujung Kepulauan Selat Torres
pada tanggal
Tuesday, 3 September 2013
SYDNEY (AUSTRALIA) - Belasan aktivis Australia yang mengklaim melakukan perjalanan misi budaya menuju Papua dan Papua Nugini sudah sampai di Kepulauan Selat Torres, ujung utara teritori Australia.
Amos Wainggai, salah seorang aktivis yang ikut dalam pelayaran Freedom Flotilla kepada Radio Australia mengungkapkan mereka baru tiba hari ini (03/09/2013) di Kepulauan Selat Torres yang terletak paling ujung utara Benua Australia dan berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Menurut Amos yang juga aktivis Papua Merdeka dan kini bermukim di Australia menyampaikan tengah mempersiapkan diri melintasi Selat Torres dan masuk ke Papua Nugini.
“Kita baru tiba di pulau Torres, di Torres Island, tepatnya di Thursday Island. Dari Torres kita menuju ke Daru (Papua Nugini) terus ke Merauke,” ungkapnya.
Selama dua pekan perjalanan dari kota pesisir timur Australia, Cairns, kru Freedom Flotilla tidak mengalami hambatan.
Amos menyampaikan mereka juga tidak dihalang halangi oleh otoritas keamanan Australia.
“Sampai saat ini mereka tau, tapi untuk pengawalan tidak ada,” sahut Amos.
Dia juga bercerita kapal yang berlayar kini bertambah satu kapal lagi, dari sebelumnya tiga menjadi empat kapal plus dengan dua orang tambahan kru, total menjadi 19 orang.
Dua tambahan kru adalah aktivis Australia yang ikut sejak dari Cooktown.
“Kami tidak bisa sebutkan nama dan organisasinya, tapi kami semua Freedom Flotilla,” tukasnya.
Amos memperkirakan bakal memasuki Merauke, Papua, sebagai tujuan akhir pelayaran sekitar dua pekan jika tidak menghadapi kendala cuaca.
“Sampai sekarang tidak ada masalah. Cuaca baik 24 degree. Perjalanan menyenangkan dengan cuaca bersahabat,” kata Amos.
Freedom Flotilla mengklaim melakukan perjalanan budaya kendati mendapat penolakan dari Pemerintah Indonesia dan tanpa restu dari Pemerintah Australia.
Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr sebelumnya tegas menyatakan tidak akan memberikan bantuan konsuler kalau mereka melanggar hukum Indonesia dan Papua Nugini.
Carr menganggap perjalanan Flotilla ilegal dan berpotensi melanggar hukum dua negara yang hendak dituju.
“Jangan harapkan pajak Australia dihabiskan untuk menangani kasus kalian, seperti penanganan warga negara Australia lainnya di Bali,” ujar saat berkunjung ke Jakarta dua pekan lalu.
Sementara kru Freedom Flotilla membantah jika ada tudingan yang menyebut perjalanan itu mempunyai misi politik.
“Kalau nanti bisa tiba di Merauke, kami akan buat acara upacara adat. Akan ada upacara penyambutan dari seluruh orang Papua untuk mempersatukan dua pulau yang terpisah sekian lama,” jelas Amos Wainggai.
Perjalanan juga disebut mempunyai misi untuk memperingati pemisahan daratan Australia dan pulau Papua sejak zaman pencairan es 10 ribu tahun yang lalu dan era kolonisasi.
Amos Wainggai datang ke Australia sebagai pengungsi pencari suaka politik yang kini menetap di Melbourne sejak 2006.
Dia mendapat suaka bersama 42 aktvis Papua Merdeka lainnya dari Australia dan baru mendapat paspor Australia dua tahun lalu.
Dalam pelayaran Freedom Flotilla kali ini, selain Amos juga ditemani oleh Jacob Rumbiak yang juga dikenal sebagai aktivis Papua Merdeka lainnya. [RadioAustralia| NewMatilda]
Amos Wainggai, salah seorang aktivis yang ikut dalam pelayaran Freedom Flotilla kepada Radio Australia mengungkapkan mereka baru tiba hari ini (03/09/2013) di Kepulauan Selat Torres yang terletak paling ujung utara Benua Australia dan berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Menurut Amos yang juga aktivis Papua Merdeka dan kini bermukim di Australia menyampaikan tengah mempersiapkan diri melintasi Selat Torres dan masuk ke Papua Nugini.
“Kita baru tiba di pulau Torres, di Torres Island, tepatnya di Thursday Island. Dari Torres kita menuju ke Daru (Papua Nugini) terus ke Merauke,” ungkapnya.
Selama dua pekan perjalanan dari kota pesisir timur Australia, Cairns, kru Freedom Flotilla tidak mengalami hambatan.
Amos menyampaikan mereka juga tidak dihalang halangi oleh otoritas keamanan Australia.
“Sampai saat ini mereka tau, tapi untuk pengawalan tidak ada,” sahut Amos.
Dia juga bercerita kapal yang berlayar kini bertambah satu kapal lagi, dari sebelumnya tiga menjadi empat kapal plus dengan dua orang tambahan kru, total menjadi 19 orang.
Dua tambahan kru adalah aktivis Australia yang ikut sejak dari Cooktown.
“Kami tidak bisa sebutkan nama dan organisasinya, tapi kami semua Freedom Flotilla,” tukasnya.
Amos memperkirakan bakal memasuki Merauke, Papua, sebagai tujuan akhir pelayaran sekitar dua pekan jika tidak menghadapi kendala cuaca.
“Sampai sekarang tidak ada masalah. Cuaca baik 24 degree. Perjalanan menyenangkan dengan cuaca bersahabat,” kata Amos.
Freedom Flotilla mengklaim melakukan perjalanan budaya kendati mendapat penolakan dari Pemerintah Indonesia dan tanpa restu dari Pemerintah Australia.
Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr sebelumnya tegas menyatakan tidak akan memberikan bantuan konsuler kalau mereka melanggar hukum Indonesia dan Papua Nugini.
Carr menganggap perjalanan Flotilla ilegal dan berpotensi melanggar hukum dua negara yang hendak dituju.
“Jangan harapkan pajak Australia dihabiskan untuk menangani kasus kalian, seperti penanganan warga negara Australia lainnya di Bali,” ujar saat berkunjung ke Jakarta dua pekan lalu.
Sementara kru Freedom Flotilla membantah jika ada tudingan yang menyebut perjalanan itu mempunyai misi politik.
“Kalau nanti bisa tiba di Merauke, kami akan buat acara upacara adat. Akan ada upacara penyambutan dari seluruh orang Papua untuk mempersatukan dua pulau yang terpisah sekian lama,” jelas Amos Wainggai.
Perjalanan juga disebut mempunyai misi untuk memperingati pemisahan daratan Australia dan pulau Papua sejak zaman pencairan es 10 ribu tahun yang lalu dan era kolonisasi.
Amos Wainggai datang ke Australia sebagai pengungsi pencari suaka politik yang kini menetap di Melbourne sejak 2006.
Dia mendapat suaka bersama 42 aktvis Papua Merdeka lainnya dari Australia dan baru mendapat paspor Australia dua tahun lalu.
Dalam pelayaran Freedom Flotilla kali ini, selain Amos juga ditemani oleh Jacob Rumbiak yang juga dikenal sebagai aktivis Papua Merdeka lainnya. [RadioAustralia| NewMatilda]